Senin, 29 Mei 2017

SUKU SAKAI



AGAMA-AGAMA LOKAL
Suku Sakai”
                           Disusun guna memenuhi tugas mata kulliah Agama Lokal

Disusun Oleh :
Nadya Qurotu A’yunia Imaz (11150321000044)

Perbandingan Agama (B)
Dosen Pembimbing : Siti Nadroh, MA


FAKULTAS USHULUDDIN
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017


KATA PENGANTAR


Bismillahirohmaanirrohiim
Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Shalawat serta salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW. Keluarga dan para sahabatnya Amiin.
 Alhamdulillah pada kesempatan ini penulis telah menyelesaikan tugas ini untuk mendapatkan nilai dari dosen pada jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, walaupun dalam penyusunan tugas ini banyak sekali hambatan, tetapi dengan niat dan ketekadan penulis akhirnya dapat menyelesaikan tugas ini.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan serta dukungan dalam penyelesaian tugas ini, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen Siti Nadroh, M.Ag. Akhirnya kepada Allah SWT. Jualah penulis berdoa semoga amal baik senantiasa mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amiin.
Wassalamu’alikum Warohmatullahi Wabarokatuh
















DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………             1
BAB I            PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ………………………………………………..               2
B.     Rumusan Masalah …………………………………………….               2
C.     Tujuan …………………………………………………………              2
BAB II                        PEMBAHASAN
A.    Letak Geografis, Luas Wilayah dan Lingkungan Alam .………             3
B.     Sejarah dan Asal-usul Orang Sakai …………………….………             5
C.     Sistem Kepercayaan dan Magi Suku Sakai ………...…………..            10
D.    Upacara Adat dan Keagamaan Suku Sakai …………..………...                        10
E.     Interaksi Kepercayaan Orang Sakai dengan Agama-Agama Lain           17
BAB III          PENUTUP
A.    KESIMPULAN ………………………………………………               18
DAFTAR PUSTAKA








BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Pembahasan kali ini mengenai agama lokal salah satunya yaitu Suku Sakai yang berada di daerah Riau. Membahas sedikit, Suku Sakai di Riau merupakan suku yang sampai saat ini masih mempertahankan ajaran-ajaran nenek moyang mereka meskipun sudah banyak orang-orang Sakai yang telah memeluk agama Islam dan Kristen. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Suku Sakai ini sangat menjaga kearifan lokal di mana meski sudah ada pengaruh dari luar tetapi masih menjaga ajaran-ajaran leluhur baik itu dari segi kepercayaan maupun upacara-upacara adat.  Ada yang berpendapat bahwa suku ini berasal dari keturunan Nabi Adam yang langsung hijrah dari tanah Arab, terdampar di Sungai Limau, dan hidup di Sungai Tunu. Namun, tidak ada sumber tertulis pasti tentang asal-usul sesungguhnya suku Sakai ini.

B.        RUMUSAN MASALAH
1.   Bagaimana sejarah dan asal-usul orang Sakai di Riau
2.   Bagaimana sistem kehidupan orang Sakai
3.   Bagaimana sistem kepercayaan dan magi Suku Sakai
4.   Apa saja adat istiadat dan tradisi Suku Sakai
5.   Bagaimana interaksi kepercayaan orang Sakai dengan suku yang lain

C.        TUJUAN
1.    Mengetahui sejarah dan asal-usul orang Sakai di Kepulauan Riau
2.    Mengetahui kehidupan yang dijalani oleh suku Sakai
3.    Mengetahui sistem kepercayaan dan magi Suku Sakai
4.    Mengetahui bagaimana adat-istiadat dan tradisi orang Sakai
5.    Mengetahui interaksi suku Sakai dengan suku yang lainnya



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Peta Geografis
1.      Letak Geografis
Wilayah Kabupaten Bengkalis terletak pada bagian pesisir Timur Pulau Sumatera antara 207‟37,2” – 0055‟33,6” lintang utara dan 100057‟57,6” – 102030‟25,2” Bujur Timur.  Kabupaten bengkalis memiliki batas-batas yakni sebelah utara berbatasan dengan selat malaka, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Siak dan Kabupaten Kepulauan Meranti, Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Rokan Hulu, dan Kota Dumai, Sebelah Timur berbatasan dengan Kepulauan Meranti. Wilayah Kabupaten Bengkalis dialiri oleh beberapa sungai. Diantara sungai yang ada di daerah ini yang sangat penting sebagai sarana perhubungan utama dalam perekonomian penduduk adalah Sungai Siak dengan panjang 300 km, Sungai Siak Kecil 90 km dan Sungai Mandau 87 km. [1]
Kecamatan Mandau yang ibu kotanya Duri merupakan salah satu Kecamatan yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Bengkalis, yang memiliki batas-batas wilayah yakni sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Bukit Batu dan Kota Dumai, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Pinggir, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Bukit Batu. [2]
Desa Petani merupakan salah satu diantara 15 Desa dan Kelurahan dalam Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Desa Petani berbatasan dengan Desa Sebangar di sebelah utara, Kelurahan Pematang Pudu di sebelah timur, dan di sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Rokan Hulu.[3]
2.      Luas Wilayah
Luas wilayah Kabupaten Bengkalis 7.773,93 km2, terdiri dari pulau-pulau dan lautan. Tercatat sebanyak 17 pulau utama disamping pulau-pulau kecil lainnya yang berada di wilayah Kabupaten Bengkalis. Jarak terjauh antara ibu kota kecamatan dengan ibu kota kabupaten Bengkalis adalah ibu kota Kecamatan Mandau yaitu Kelurahan Air Jamban (Duri) dengan jarak lurus 103 km. [4]
Luas wilayah Kecamatan Mandau 937,47 km terdiri dari 9 Kelurahan dan 6 Desa. Adapun 9 Kelurahan tersebut antara lain Talang Mandi, Gajah Sakti, Batang Serosa, Balik Alam, Duri Barat, Duri Timur, Babussalam, Air Jamban, dan Pematang Pudu. Sedangkan 6 Desa tersebut antara lain Harapan Baru, Sebangar, Balai Makam, Petani, Bumbungan, dan Kesumbo Ampai. [5]
Tabel 1. Luas Wilayah Kecamatan Mandau Menurut Desa/ Kelurahan
No
Desa/ Kelurahan
Desa
Kelurahan
Luas (km2)
1.
Talang Mandi
-
ü   
20,00
2.
Harapan Baru
ü   
       -
25,00
3.
Gajah Sakti
-
ü   
20,00
4.
Batang Serosa
-
ü   
6,00
5.
Balik Alam
-
ü   
6,00
6.
Duri Barat
-
ü   
14,00
7.
Duri Timur
-
ü   
6,00
8.
Babussalam
-
ü   
8,00
9.
Air Jamban
-
ü   
50,00
10.
Sebangar
ü   
       -
150,47
11.
Balai Makam
ü   
       -
100,47
12.
Petani
ü   
       -
207,00
13.
Pematang Pudu
-
ü   
25,00
14.
Bumbung
ü   
       -
180,00
15.
Kesumbo Ampai
ü   
       -
120,00

Jumlah
6
       9
937, 47

Sumber : Kepala Desa kecamatan mandau tahun 2012


Hanya disekitar sungai jurong desa Petani yang merupakan daerah pemukiman dan selebihnya adalah hutan. Sungai jurong desa petani merupakan batas sebenarnya Kabupaten Bengkalis. Sehingga pemukiman Orang Sakai masuk kedalam Kabupaten Rokan Hulu. Akan tetapi hal tersebut ditolak oleh masyarakat Sakai. Kemudian batasan wilayah tersebut digeser sehingga masyarakat desa Petani masih dalam wilayah Kabupaten Bengkalis. Masyarakat menolak masuk kedalam Rokan Hulu karena akan mempersulit mereka dalam mengurus surat-surat kependudukan.[6]
3.      Lingkungan Alam
Wilayah Kabupaten Bengkalis merupakan dataran rendah dengan rata-rata ketingguan antara 2-6,1 meter diatas permukaan laut. Wilayah Kabupaten Bengkalis sebagian besar merupakan tanah organosol, yaitu jenis tanah yang banyak mengandung bahan organik. Kabupaten Bengkalis memiliki 34 sungai, 10 tasik atau danau dan 16 pulau besar dan kecil. Ke-16 pulau tersebut terdiri dari dua pulau besar, yaitu pulau Bengkalis (938,40km2) dan pulau Rupat (1.525km2). Sedangkan 14 pulau lainnya merupakan pulau kecil, yaitu Pulau Atung, Mampu Beso, Payung, Mentele, Baru, Rampang dan Mampu Kecik yang masuk dalam wilayah Kecamatan Rupat Utara. [7]
Jenis-jenis flora yang banyak terdapat di hutan-hutan wilayah Kabupaten Bengkalis adalah Meranti. Punak, Sungkai, Bintangur, Api-api, Bakau, Nibung. Kayu-kayu ini sebagian besar merupakan jenis kayu komersial yang digunakan sebagai bahan baku industri kayu dan furniture. Hasil hutn lainnya adalah Rotan, Damar, dan Getah Jelutung. Disamping itu terdapat beberapa jenis anggrek hutan dan berbagai jenis tanaman hias, seperti pinang merah dan palm (Kepau). Sedangkan jenis-jenis fauna yang masih terdapat dikawasan hutan Bengkalis, seperti Harimau Sumatera, Gajah, Beruang Madu, Beruk, Lutung, Kera, Rusa, Kijang, Kancil, Ayam Hutan, Buaya, serta berbagai jenis ular dan burung.[8]
B.     Asal-usul Orang Sakai di Kepulauan Riau
Suku Sakai merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang hidup di pedalaman Riau, Sumatera. Menurut Moszkowski (1908) dan kemudian juga dikutip oleh Loeb (1935) Orang Sakai adalah Orang veddoid yang bercampur dengan orang-orang Minangkabau yang datang bermigrasi pada sekitar abad ke-14 ke daerah Riau, yaitu ke Gasib, di tepi sungai Gasib di hulu sungai Rokan. Gasib kemudian menjadi sebuah kerajaan dan kerajaan Gasib kemudian dihancurkan oleh Kerajaan Aceh, dan warga masyarakat ini melarikan diri ke hutan-hutan di sekitar daerah sungai-sungai Gasib, Rokan, dan Mandau serta seluruh anak-anak Sungai Siak. Mereka adalah nenek moyang Orang Sakai. Sedangkan menurut keterangan dari Bapak Boechary Hasny (1970) pencaharian mereka yang terutama adalah dari berladang dan bercocok tanam. Seperti halnya Suku Ocu (penduduk asli Kabupaten Kampar), Orang Kuantan, dan Orang Indragiri, Suku Sakai merupakan kelompak masyarakat dari Pagaruyung yang bermigrasi ke daratan Riau berabad-abad lalu. Tidak ada data yang pasti mengenai jumlah orang Sakai. Data kependudukan yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial RI menyatakan bahwa jumlah orang Sakai di Kabupaten Bengkalis sebanyak 4.995 jiwa. [9]
Ada pula opini-opini atau pendapat-pendapat lain mengenai asal-usul suku Sakai, yang dimana isinya tidak jauh berbeda dengan pendapat-pendapat lainnya diantaranya:[10]
Suku Sakai adalah salah satu komunitas pedalaman di Nusantara yang menempati wilayah Kabupaten Bengkalis, Siak Indrapura, dan Rokan Hilir. Sebelum pemekaran wilayah, ketiga kabupaten tersebut dulunya merupakan satu wilayah kabupaten, yakni Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Jumlah terbanyak orang Sakai di daerah tersebut berada di Dusun Paneso, Kelurahan Muara Basung, Kecamatan Mandau. Daerah ini merupakan lokasi permukiman orang Sakai yang tertua (Husni Thamrin, 2003:64). Tak mengerankan jika daerah ii menjadi inti atau sentral dari semua kebudayaan orang Sakai.[11]
Suku Sakai selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidup berpindah-pindah di hutan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, alam asri tempat mereka berlindung mulai punah. Kawasan yang tadinya hutan, berkembang menjadi daerah industri perminyakan, usaha kehutanan, perkebunan karet dan kelapa sawit, dan sentra ekonomi. Komposisi masyarakatnya pun menjadi lebih heterogen dengan pendatang baru dan pencari kerja dari berbagai kelompok masyarakat yang ada di Indonesia (Jawa, Minang, Batak, dsb). Akibatnya, masyarakat Sakai pun mulai kehilangan sumber penghidupan, sementara usaha atau kerja di bidang lain belum biasa mereka jalani.[12]
Dari tempat tinggal, masyarakat Sakai dapat dibedakan menjadi sakai Luar dan sakai Dalam.  Sakai dalam merupakan warga sakai yang masih hidup setengah menetap dalam rimba belantara, dengan mata pencarian berburu, menangkap ikan dan mengambil hasil hutan. Sakai luar adalah warga yang mendiami perkampungan berdampingan dengan pemukiman-pemukiman puak melayu dan suku lainnya.[13]
Pendapat lain mengatakan bahwa Sakai merupakan percampuran antara orang-orang Wedoid dengan orang-orang Melayu Tua. Catatan sejarah mengatakan bahwa pada zaman dahulu penduduk asli yang menghuni Nusantara adalah orang-orang Wedoid dan Austroloid, kelompok ras yang memiliki postur tubuh kekar dan berkulit hitam. Mereka bertahan hidup dengan berburu dan berpindah-pindah tempat. Sampai suatu masa, kira-kira 2.500-1.500 tahun sebelum Masehi, datanglah kelompok ras baru yang disebut dengan orang-orang MelayuTua atau Proto-Melayu.[14]
Ini merupakan gelombang migrasi pertama kemudian disusul dengan gelombang migrasi yang kedua, yang terjadi sekitar 400-300 tahun sebelum Masehi. Kelompok ini lazim disebut sebagai orang-orang Melayu Muda atau Deutro-Melayu. Akibat penguasaan teknologi bertahan hidup yang lebih baik, orang-orang Melayu Muda ini berhasil mendesak kelompok Melayu Tua untuk menyingkir ke wilayah pedalaman. Di pedalaman, orang-orang Melayu Tua yang tersisih ini kemudian bertemu dengan orang-orang dari ras Wedoid dan Austroloid. Hasil perkawinan campur antara keduanya inilah yang kemudian melahirkan nenek moyang orang-orang Sakai.[15]
Sakai adalah satu kelompok etnik yang masih digolongkan sebagai 'masyarakat terasing’. Mereka ada yang berdiam di Kecamatan Kundo Darussalam, Kabupaten Kampar, di Kecamatan Mandau, Kabupaten bengkalis, Kecamatan Dumai, dan lain-lain yang sebelumnya termasuk wilayah Propinsi Riau. Menurut hasil survey yang dilakukan Direktorat Pembinaan Masyarakat Terasing, Direktorat Bina Sosial Departemen Sosial RI nama Sakai merupakan sebutan dari pihak luar yang konon diberikan karena orang-orang ini tinggal di tepi sungai Sakai yang di sekitarnya ditumbuhi pohon Sakai. Menurut sejarah, nenek moyang orang Sakai adalah warga negeri Pagaruyung, Propinsi Sumatera Barat. Yang lari dan negerinya untuk menghindari Belanda yang sewenang-wenang memungut pajak dari rakyat.[16]
 Versi lain mengatakan bahwa orang Sakai ini merupakan penduduk asli Riau yang lari kepedalaman Pulau Bengkalis karena terdesak oleh suku-suku bangsa lain yang datang menetap di daerah itu. Orang Sakai sendiri mengaku sebagai orang "Melayu Asli". Para ahli sejarah mencatat bahwa kelompok ini merupakan gelombang migrasi pertama yang datang dari daratan Asia. Mereka ini tergolong ras Veddoid.[17]
Nama sakai dalam sebutan bagi penduduk pengembara yang terpencil dari lalu lintas kehidupan dunia kekinian di Riau. Mereka tinggal di bagian hulu sungai Siak. Menurut Boehari Hasmmy, mengatakan bahwa orang Sakai datang dari kerajaan Pagaruyung Minangkabau Sumatera Barat dalam dua gelombang migrasi. Kedatangan pertama diperkirakan terjadi sekitar abad ke 14 langsung ke daerah Mandau. Sedangkan yang datang kemudian diperkirakan tiba di Riau abad ke 18, yang datang di kerajaan Gasib dan kemudian hancur diserang oleh kerajaan Aceh, sehingga penduduknya lari ke dalam hutan belantara dan masing-masing membangun rumah dan ladangnya secara terpisah satu sama lainnya di bawah kepemimpinan salah seorang diantara mereka. [18]
Dalam catatan sejarah Riau (Suwardi MS, 1980) dinyatakan bahwa wilayah ini pernah berada dalam kekuasaan Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan Melayu. Di samping itu, dengan adanya kedatangan bangsa-bangsa Cina, Portugis, Inggris, dan Belanda yang berdagang dan bahkan Belanda yang sempat berkuasa dan menjajah Indonesia, terdapat sisa-sisa dari pengaruh kebudayaan Hindu, Islam, Cina, dan Barat (terutama kcbudayaan Belanda) dalam tradisi-tradisi kebudayaan dari masyarakat Riau. Secara umum tradisi Islam adalah yang terkuat dibandingkan dengan tradisi-tradisi budaya lainnya yang datang dari luar.[19]
Dengan mengikuti Suwardi MS (1980) sejarah Riau secara kronologi dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut:[20]
1)      Masa Pengaruh Kerajaan Siiwijaya: masa ini berlangsung sampai dengan akhir abad ke-13, yaitu sampai dengan menjelang akhir keruntuhannya. Kerajaan di Muara Takus diduga merupakan kerajaan yang mewakili Kerajaan Sriwijaya dalam menguasai kerajaan-kerajaan kecil ymng ada di Riau pada waktu itu.Kerajaan-kerajaan kecil tersebut adalah kerajaan-kerajaan Melayu yang kemudian bebas dan berdiri sendiri setelah runtuhnya Kekuasaan Sriwijaya;
2)      Masa Kemerdekaan Kerajaan-Kerajaan Melayu: suatu masa dimana kerajaan-kerajaan Melayu di Riau tidak dikuasai oleh sesuatu kekuasaan yang lebih besar dan sesuatu kerajaan lainnya. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah: (a) Bintan-Tumasik (di Kepulauan Riau) dan Malaka (di Semenanjung Melayu); (b) Kandis-Kuantan; (c) Gasib-Siak, (d) Kriteng Indragiri; (e) Rokan; (f) Segati; (g) Pekan Tuan; dan (h) Andiko Nan 44-Kampar:
3)      Masa Pudarnya Kerajaan-Kerajaan Melayu: suatu masa dimana kerajaan-kerajaan kecil Melayu tersebut berada dibawah kekuasaan Kerajaan Malaka, yang kemudian direbut oleh Kerajaan Johor. Sedangkan Kerajaan Andiko Nan 44 dan Kerajaan Kuantan berada dibawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Pagarruyung-Minangkabau;
4)      Masa Kepunahan Kerajaan-Kerajaan Melayu: suatu masa dimana sebagian besar dari kerajaan-kerajaan Melayu tersebut punah, yang kepunahannya tidak diketahui sebab-sebabnya. Kerajaan-kerajaan yang punah tersebut adalah: (a) Kandis; (b) Segati), (c) Pekantua;dan (d) Gasib;
5)      Masa munculnya Kerajaan-Kerajaan Baru: suatu masa munculnya Kerajaan-kerajaan: (a) Siak Sri Indrapura, (b) Indragiri; dan (c) Pelalawan;
6)      Masa Kerajaan Riau-Lingga: suatu masa munculnya Kerajaan Riau-Lingga dan kemudian menjadi jaya menggantikan kejayaan Kerajaan Johor; tetapi kemudian menghilang dan punah kekuasaannya bersama dengan berkuasanya kekuasaan
7)      Masa Menjelang Kemerdekaan Indonesia: yang dalam masa tersebut terdapat kerajaan-kerajaan kecil: (a) Siak Indrapura (b) Indragiri, (c) Pelalawan; (d) Rokan; (e) Singingi: (f) Kampar Kir, (g) Kuantan. Pada masa sekarang kerajaan-kerajaan ini sudah tidak ada lagi. walaupun demikian gelar-gelar kebangsawanan masih digunakan oleh orang-orang yang menjadi keturunan mereka, dan gelar-gelar tersebut antara lain adalah Tengku. [21]
a.      Dalam Zaman Pemerintahan Kerajaan Siak
Para Batin Orang Sakai (baik perbatinan Lima maupun Perbatina Delapan) memperoleh surat pengangkatan menjadi Batin dari Raja Atau Sultan Siak. Dua buah kelompok Perbatinan tersebut masing-masing di perlakukan sebagai sebuah satuan administrasi kekuasaan yang jelas Wilayah kekuasaan masing-masing. pemerintahan kerajaan Siak menarik Pajak dan upeti dari Perbatinan-perbatinan tersebut. pajak dan upeti yang ditarik berupa berbagai hasil hutan dan anak gadis. Pajak-pajak tersebut dalam Wilayah Perbatinan Lima di serahkan kepada Raja Siak melalui tangan Penghulu (Kepala Desa) Mandau, sedangkan pajak-pajak dari perbatina Delapan diserahkan melalui tangan Penghulu (Kepala Desa) petani. Adapun Gadis-gadis orang Sakai diserahkan di Balai pungut, tempat parabangsawan beristirahat (Balai=Rumah atau tempat, dan Pungut= memungut memilih untuk di ambil) seorang batin memperoleh bagian kira-kira 10% dari pajak-pajak yang telah dikumpulkan dan di serahkan kepada rakyat tersebut. pada mulanya daerah ini termasuk dalam wilayah perbatinan Tengganau. Melelui hubungan mengangkat saudara (hubungan adik beradik) yang di kukuhkan antara pegawai istana kerajaan tersebut yang menjadi kepala pemukiman Balai Pungut dengan Batin Tengganau maka Balai Pungut dapat dijadikan dan dinaikan kedudukannya sama dengan sebuah kepenghuluan (Desa) yang setaraf kedudukannya dengan Tengganau. Menurut para informan, Kepala Desa Balai Pungut pada waktu itu berfungsi sebagai mata-mata dalam sistem keamanan Orang Sakai. [22]
Pengangkatan seorang Batin pada Zaman kerajaan Siak selalu dilakukan dengan suatu upacara Penobatan yang diikuti dengan pesta minum-minum selama Tujuh hari Tujuh malam. Tugas seorang Batin dalam Zaman Kerajaan Siak yang kemudian juga dilanjutkan dalam masa pemerintaha kerajaan Belanda. [23]
b.      Dalam Zaman Penjajahan Belanda dan Jepang
Karena orang Sakai hidup di tempat-tempat pemukiman yang terletak di daerah pedalaman dan selalu menjauhkan diri dari kehidupan bermasyarakat yang lebih luas, mereka tidak pernah atau jarang mempunyai kontak langsung dengan orang-orang Belanda atau kekeuasaan pemerintahan penjajahan Belanda yang ada di Riau. Meneurut keterangan beberapa orang Sakai yang telah lanjut Usia, mereka selalu menghindari orang asing baik orang Belanda maupun orang Melayu karna takut dan malu. Mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan khusus, seperti pembunuhan, penyiksaan, barulah Opas atau Polisi, yang merupakan alat kekuasaan pemerintahan Belanda menangani maslah ini sampai kedareh-daerah pedalaman orang Sakai. [24]
Selama zaman pendudukan Japang kehidupan orang sakai tidak dipedulikan oleh orang Jepang mereka dibiarkan menjalani cara hidup mereka sebagaimana sebelumnya, dan bahkan mereka terbebas dari kewajiban membayar pajak ataupun kerja wajib, walaupun wilayah tempat kehidupan mereka dijadikan tempat kegiatan-kegiatan pembangunan jalan dan kegiatan-kegiatan pembangunan-pembangunan lainnya mereka melihat kekejaman tentara jepang terhadap para pekerja wajib (Romusha) yang di datangkan dari jawa. Sebagian kecil dari Romusha ini dapat melarikan diri dari rombongan-rombongan tersebut. mereka di tolong dan di beri makan serta di sembunyikan oleh orang-orang Sakai setempat. Di antara mereka yang di tolong ini kemudian hidup bersama dengan dan menjadi warga masyarakat orang Sakai yang menolongnya dan kawin dengan wanita orang setempat. [25]
c.       Zaman Kemerdekaan Republik Indonesia
Kalau selama zaman pemerintahan jajahan Belanda dan jepang di Indonesia itu nasib ornag Sakai tidak diperhatikan maka ketika Indonesia mulai merdeka menjadi sangat diperhatikan oleh Indonesia sama dengan daerah-daerah pedalaman lainnya. Pada Tahun 1954, pemerintah Indonesia melakukan upaya ingin membebaskan kehidupan masyarakat Sakai dari keterasingan atau isolasi. Kegiatan ini dinamakan dengan Civilisatie Masyarakat Terasing dengan kegiatan-kegiatan melakukan inventarisasi jumlah penduduk dan cara-cara hidup mereka. Pada Tahun 1963, sebagai hasil lebih lanjut dari Civilisatie di dirikan Pos PMT (Pemukiman Masyarakat Terasing) di Muara Basung oleh Kantor Inspeksi Social Riau. Pos PMT di Muara Basung di dirikan di hutan yang sudah didirikan. Bangunan yang pertama di bangun adalah Kantor dan dua buah Rumah untuk petugas bangunan. Pada Tahun 1964 muali di bangun perumahan untuk penduduk orang Sakai yang akan di mukimkan perumahan yang di bangun sebanyak 30 buah, dan bersamaan dengan itu para petugas lapangan mulai mendatangi rumah-rumah penduduk yang tinggal di Ladang-ladang mereka, dalam kelompok-kelompok kecil 2 atau 3 Rumah, di tepi-tepi sungai di sekitar Muara Basung dalam radius 17 meter. Ketika pada Tahun 1965 perumahan tersebut selesai di bangun, dan penduduk di sekitar Muara Basung sudah siap masuk ke pemukiman samapai dengan permulaan Tahun 1970. Jumlah yang tercatat pada tahun tersebut sebanyak 68 keluarga. Masing-masing keluarga tersebut menerima tanah garapan seluas 32x80 meter persegi. Selama Satu Tahun mereka diberi bekal hidup secara Cuma-cuma oleh pemerintah, baik berupa bahan makanan pokok, pakaian, peralatan dapur mereka jug diberi peralatan sederhana untuk petani (pacul dan parang). Pemerintah juga menyediakan pelayanan kesehatan serta di berikan sebuah pesawat Televisi (dengan tenaga Batrai) yang dapat di nikmati secara bersama pada petang hari. Sejak Tahun1963 di Muara Basung telah didirikan sebuah sekolah yang bernama persiapan Sekolah Dasar yang terdiri sebuah ruang dan seorang Guru dengan muridnya 16 orang di selenggarakan oleh Departemen Sosial dan kemudian oleh Departemen pendidikan dan kebudayaan. Pada Tahun1967 ruang kelas tersebut roboh. Akhirnya para warga dan departemen social ingin memperbesar dan memperbanyak ruang kelas karena ada tambahnya murid berjumlah 65 orang. [26]
Nama pemukiman masyarakat terasing (PMT) Pada Tahun 1976 diganti namanya dengan Pembinana Kesejahtraan Masyarakat Terasing (PKMT). kelompok-kelompok masyarakat tersing yang telah dimukimkan dan dibina adalah di PKMT Buluh Kasap (1977), PKMT Sialang Rembon (1979), PKMT Kandis (1980) dalam zaman pemerintahan Repubilk Indonesia kelompok-kelompok orang Sakai yang tidak mau di mukimkan dan di bina di tempat-tempat pemukiman dibiarkan tinggal ditempat-tempat pilihan mereka masing-masing. [27]
C.    Kepercayaan dan Magi Orang Sakai
Salah satu ciri masyarakat Sakai adalah agama mereka yang bersifat animistik. Meskipun banyak di antara orang Sakai yang telah memeluk Islam, namun mereka tetap memraktekkan agama nenek moyang mereka yang masih diselimuti unsur-unsur animisme, kekuatan magis, dan tentang mahkuk halus. Tetapi hanya sebagian saja yang betul-betul menjalankan salat lima kali dalam satu hari dan berpuasa dalam bulan Ramadan. Mereka yang saat ini justru kebabanyakan adalah anak-anak muda. Sebagian diantara mereka yang taat menjalankan ibadah tersebut tergolong dalam dua kelompok keagamaan, yaitu tarekat Naksabandiyah dan Ahlusunnah Wal Jamaah.[28]
Tarekat Naksbandiyah merupakan Aliran dalam Agama Islam yang telah berabad-abad berkembang di Riau dan Pulau Sumatra. Pada umumnya, dan di Riau ajaran ini berpusat di kerajaan Siak. Tarekat Naksabandiah menuntut pemeluknya agar melakukan sejumlah upacara ritual diluar kewajiban yang melakukan oleh para pemeluk Aliran Sunnah yang antar lain mencakup kegiatan-kegiatan seperti berdzikir, berpuasa dan lain-lainnya. mereka yang telah menjalankan upacara ritual di bawah bimbingan seorang guru atau Khalifah dan di anggap telah menamatkan nya dengan baik di namakan Khilafah. Karena oleh para pemeluk tarekat tersebut seorang khalifah dilihat sebagai orang yang banyak pengetahuan mengenai Agama Islam dan sebagai orang yang mempunyai kekuatan gaib dan sanggup mengatur dan menguasai makhluk-makhluk gaib yang berada disekitar kehidupan manusia, maka di mata pemeluk tarekat kedudukan sosial seorang Khalifah itu tinggi.[29] Mereka masih lebih percaya terhadap kepada kepercayaan-keparcayaan asli nenek moyang mereka, bahwa lingkungan hidup mereka di huni oleh makhluk gaib yang dinamakan “antu” atau “hantu”. Sebagian Orang Sakai tidak terlibat dalam konflik-konflik tersebut, karena mereka tidak merasa menjadi bagian yang sebenarnya dari salah satu dua Aliran tersebut.
Inti dari agama nenek moyang masyarakat Sakai adalah kepercayaan terhadap keberadaan ‘antu‘, atau mahluk gaib yang ada di sekitar mereka. Masyarakat Sakai menganggap bahwa ‘antu’ juga memiliki kehidupan layaknya manusia. Mereka bergerombol dan memiliki kawasan pemukiman. Pusat dari pemukiman ‘antu’ ini menurut orang Sakai berada di tengah-tengah rimba belantara yang belum pernah dijamah manusia.[30] Akan tetapi kepercayaan animisme yang dahulu dianut oleh sebagian besar suku Sakai, kini berganti dengan beberapa agama seperti Islam, atau pun juga Kristen. Sehingga keyakinan terhadap makhluk halus yang sering disebut ‘Antu’, tidak lagi menyelimuti kehidupan mereka. Hal ini terjadi akibat banyaknya pembukaan hutan untuk perkebunan sawit dan juga pemukiman penduduk baru serta program transmigrasi yang telah mempengaruhi cara pemikiran dan juga pola hidup suku sakai.
-          Hantu dalam Konsepsi Orang Sakai
Meskipun masyarakat Sakai menganggap bahwa hantu memiliki dunia yang berbeda dengan mereka, namun hantu-hantu tersebut menempati wilayah yang juga dihuni manusia. Mereka tinggal di pepohonan, sungai-sungai, rawa-rawa, hutan, ladang, tempat pemukiman, rumah dan sebagainya. Bedanya dengan manusia adalah bahwa manusia tidak dapat melihat mereka, tetapi mereka dapat melihat manusia. Hanya orang-orang tertentu yang dapat berkomunikasi dengan hantu-hantu itu melalui ritual khusus untuk mendatangkan mereka. [31]
Dalam pandangan masyarakat Sakai, hantu atau antu juga memiliki karakter yang sama dengan manusia, yaitu ada yang baik dan ada yang jahat. Namun, masyarakat Sakai tidak memiliki konsep yang jelas tentang jenis-jenis hantu yang baik dan yang jahat. Hantu dalam pandangan masyarakat Sakai sebenarnya memiliki karakter yang netral. Kecenderungan menjadi baik atau jahat tergantung dari situasi-situasi khusus. Hantu yang baik adalah hantu yang dapat dimintai bantuan ketika manusia memiliki kepentingan, sementara hantu yang jahat adalah hantu yang dapat mencelakakan manusia, misalnya hantu yang dapat mengirim penyakit, menimbulkan kemalangan, dan menyebabkan kematian.[32]
Dalam pandangan masyarakat Sakai, arwah dari orang yang sudah meninggal juga menjadi bagian dari hantu-hantu tersebut. Orang Sakai sangat takut dengan arwah anggota keluarga yang baru saja meninggal, kecuali arwah bayi dan anak kecil. Ketakutan itu disebabkan adanya keyakinan bahwa arwah orang yang baru saja meninggal sebenarnya sudah hidup di alam lain tetapi masih berada dan tinggal di tempat-tempat anggota keluarga yang masih hidup. [33]
Arwah orang yang meninggal ini berada di sekeliling anggota keluarga, dan karena hubungan yang dekat semasa hidup arwah tersebut selalu ikut campur urusan-urusan dan kegiatan-kegiatan anggota keluarganya. Campur tangan arwah tersebut tidak selamanya selaras dengan keinginan anggota keluarga yang masih hidup. Karena keduanya tidak dapat melakukan komunikasi, maka campur tangan dari arwah tersebut sering berujung pada kesialan pada anggota keluarganya yang masih hidup, misalnya selalu gagal dalam melakukan sesuatu. Intinya, keberadaan arwah tersebut dapat membawa sial. Oleh karena itu, orang Sakai biasanya meninggalkan rumah mereka selama seminggu ketika ada anggota keluarga mereka yang meninggal dunia.[34]
Hal ini dimaksudkan agar arwah anggota keluarga yang meninggal tidak menempel terus dan mencampuri urusan dan kegiatan mereka. Jika si arwah dirasa masih mengikuti dan mencampuri urusan anggota keluarga yang masih hidup, maka jalan satu-satunya yang harus dilakukan anggota keluarga yang masih hidup adalah harus pergi menyeberangi sungai, karena arwah orang mati diyakini tidak dapat menyeberangi sungai.[35]
Masyarakat Sakai memercayai bahwa penyakit dan kematian ada yang disebabkan oleh hantu. Hantu-hantu itu dapat dimintai bantuannya untuk menenung seseorang. Orang Sakai biasanya menggunakan medium hantu untuk menenung ketika terjadi perselisihan di antara mereka. Prinsip ilmu tenung orang Sakai adalah menggunakan kekuatan antu untuk membunuh lawan.[36]
Antu tersebut dapat disuruh melakukan pembunuhan dengan imbalan sesajian makanan yang terbuat dari beras ketan, beras, telur ayam, dan ayam. Walaupun hantu ini memiliki kekuatan yang dapat mencelakakan manusia, tetapi hanya orang-orang yang dianggap kotor yang dapat dicelakakan atau dibunuh hantu.[37]
D.    Upacara Adat dan Keagamaan Suku Sakai
Suku Sakai tergolong dalam ras Veddoid dengan ciri-ciri rambut keriting berombak. Kulit coklat kehitaman, tinggi tubuh laki-laki sekitar 155 cm dan perempuan 145 cm. Untuk berhubungan satu sama lain, orang Sakai menggunakan bahasa sakai. Banyak diantara mereka mengujar logat-logat bahasa batak Mandailing, bahasa Minangkabau dan bahasa Melayu.[38]
Beberapa tradisi yang diamalkan oleh suku Sakai ini masih mengandung unsur animisme dan dinamisme.
Pada masyarakat suku Sakai masih ditemukan upacara yang berkaitan dengan daur hidup (life cycle). Pelaksanaan upacara tersebut dilaksanakan secara turun-temurun yang masih dipertahankan oleh masyarakat suku Sakai. Adapun upacara tersebut antara lain:
·         Upacara kematian
·         Upacara kelahiran
·         Upacara pernikahan
·         Upacara penobatan batin (orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru.
Selain upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup (life cycle) ada juga upacara yang berkaitan dengan peristiwa alam diantaranya :
·         Upacara menanam padi
·         Upacara menyiang
·         Upacara sorang sirih
·         Upacara tolak bala.[39]
Berikut beberapa diantara penjelasan mengenai upacara adat suku sakai :
1.      Upacara Kematian
Sebelum orang Sakai memeluk Agama Islam atau Kristen maka jika ada seorang Sakai meninggal dunia, maka mayatnya di letakan di tengah-tengah rumah. Para kerabat dan tetangga satu “perbatinan” diberitahu. Jika seorang “pak kuneng” atau saudara laki-laki ibu tertua dari “ego” maka si “ego” harus segera mengambil sebilah parang dan dengan parah tersebut melukai keningnya sampai darahnya mengucur. Bila yang meninggal dunia seorang yang masih muda maka “pak kuneng” dari si mati melakukan hal yang sama. Darah yang mengucur tersebut harus diteteskan di muka dan dada si mayat.[40]
2.      Upacara Pernikahan
Perkawinan yang terjadi pada masyarakat suku Sakai biasanya hanya dilakukan oleh seorang perjaka dengan seorang gadis dan seorang duda dan seorang janda. Dan jarang ditemui adanya poligami, karena ada alasannya yaitu untuk menghindari pembiayaan biaya hidup yang mahal karena menanggung lebih dari satu istri. Dalam kebudayaan Sakai diperbolehkan untuk menikah dengan siapa saja kecuali, dengan anggota keluarganya. Perkawinan masyarakat Sakai ini biasanya diawali dengan hubungan yang serius dan mendalam pada setiap personal. Namun hubungan ini selalu melibatkan pengawasan dari orang tua bahkan masyarakat, biasanya pengawasan ketat dilakukan oleh pihak gadis.
Ketika kedua belah pihak merasa bahwa hubungan diantara si perjaka dan si gadis sudah nampak makin serius, maka orang tua si perjaka menyuruh anaknya untuk melamar si gadis. Biasanya  upacara perkawinan diselenggarakan setelah satu bulan hingga dua bulan setelah prosesi lamaran. Terdapat perbedaan antara masyarakat Sakai dahulu dengan sekarang dalam hal lamaran. Pada zaman dulu, bahan-bahan yang dipersiapkan meliputi: [41]
·         (Sirih pinang selengkapnya; kain dan baju persalinan; gelang dan cincin yang terbuat dari perak; sebuah mata uang riyal yang terbuat dari perak; sebuah beling; dan sebuah mata tombak).
·         Sementara bahan-bahan yang dipakai sekarang meliputi: (Ranjang yang terbuat dari besi, yang dilengkapi dengan kasur,serpal,bantal,guling serta  kelambu; gelang dan cincin yangterbuat dari perak; dan radio atau tape recorder). Beliung dan tombak  tidak dibutuhkan lagi, karena fungsinya tidak sepenting dulu,sedangkan mata uang riyal sudah sulit ditemukan
Tata Pelaksanaan pernikahan upacara suku Sakai, Menurut Suparlan (1995: 179-183),  perkawinan pada masyarakat Sakai sah dikatakan apabila memenuhi tahapan-tahapan berikut :
·         Prosesi Lamaran (lamaran dilakukan oleh seorang "batin", perempuan tua yang dipercaya oleh orang tua laki-laki untuk mewakili menyampaikan maksud keluarga). Lalu "batin" memberi daun sirih sebagai simbol pinangan. Dan jika diterima lalu barang-barang lamaran diserahkan, kemudian menentukan hari perkawinan
·          Penyerahan Mas Kawin (merupakan tahap awal dari upacara, dan penyerahan mas kawin dilakukan dirumah "batin" dan tempat dilangsungkannya perkawinan).
·         Upacara Pengesahan Perkawinan (upacara ini dilakukan di rumah "batin" setelah selesai menyerahkan mas kawin. Agar status perkawina tidak hanya sah secara adat, perkawinan juga dihadiri petugas pencatatan sipil (KUA) setempat. Agar secara administratif sudah dianggap sah  dan terdaftar dan diakui pemerintah (Suparlan,1995: 182). 
·         Pesta Perkawinan (setelah upacara perkawinan dianggap selesai, maka ditabuhlah gendang betalu-talu untuk menandakan bahwa pesta perkawinan dapat segera dimulai, pesta berlangsung tiga hari tiga malam diisi dengan acara makan-makan dan minum-minuman dll.)[42]

3.      Upacara Penobatan Batin (orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru
Para batin orang sakai memperoleh surat pengakatan menjadi batin dari raja Siak. Dua kelompok perbatinan masing-masing diperlakukan sebagai sebuah satuan administrasi kekuasaan yang jelas wilayah kekuasaan masing-masing. Pemerintah kerajaan Siak menarik pajak dan upeti dari perbatinan ini. Pajak dan upeti yang ditarik berupa berbagai hasil hutan dan juga anak-anak gadis.
Pajak-pajak tersebut dalam wilayah perbatinan lima diserahkan kepada raja Siak melalui tangan penghulu (kepala desa) Mandau, sedangkan pajak-pajak dari perbatinan delapan diserahkan melalui tangan penghulu (kepala desa) petani. Adapun gadis-gadis orang sakai diserahkan di balai pungut tempat para bangsawan beristirahat (balai=rumah atau tempat, pungut = memungut atau memilih untuk diambil). Seorang batin memperoleh bagian kira-kira sepuluh persen dari pajak yang telah dikumpulkan dan diserahkan kepada raja tersebut. Semula balai Pungut hanya berupa sebuah tempat dengan beberapa rumah yang dihuni oleh orang Melauu yang menjadi pegawai kerajaan Siak. Tempat ini digunakan sebagai tempat peristirahatan keluarga raja siak.
Pada mulanya daerah ini termasuk dalam wilayah perbatinan tengganau. Melalui hubungan mengangkat saudara (hubungan adik-beradik) yang dikukuhkan antara pegawai istana kerajaan tersebut yang menjadi kepala pemukimam balai pungut dengan batin tenggganau maka balai pungut dapat dijadikan dan dinaikkan kedudukannya sama dengan sebuah kepenghuluan (desa) yang setaraf kedudukannya dengan Tengganau. Menurut para informan, kepala desa balai pungut pada waktu itu berfungsi sebagai mata-mata dalam sistem keamanan wilayah kehidupan orang Sakai. [43]
Pengangkatan seorang batin dalam zaman kerajaan siak selalu dilakukan dengan melalui suatu upacara penobatan yang diikuti dengan pesta makan-minum tujuh hari tujuh malam. Disamping batin, raja siak juga mengangkat seorang wakil batin yang diberi nama Tongkek. Upacara batin. Tugas seorang tongkek adalah membantu pekerjaan-pekerajaan batin, khususnya dalam kegiatan pengumpulan pajak, dan dalam keadaan batin berhalangan mewakili batin dalam tugas-tugasnya.
Tugas seorang Batin dalam zaman kerajaan siak, yang kemudian juga dilanjutkan dalam masa pemerintah jajahan Belanda disamping mengumpulkan pajak juga menjaga ketertibam kehidupan di pemukiman (menjaga jangan sampai terjadi pencurian, dan perbuatan-perbuatan maksiat (perzinahan). Seorang batin dapat menjatuhkan hukuman denda kepada warga masyarakat yang dipimpinnya yang kedapatan bersalah karena merugikan sesama warga masyarakatnya. Sedangkan hukuman badan ataupun pengadilan karena yang bersangkutan melakukan pembunuhan tidak dapat diputuskan oleh seorang batin. Dalam hal ini terjadinya pembunuhan maka si pembunuh diserahkan kepada punggawa kerajaan di Balai pungut, dan dalam zaman Belanda diserahkan kepada opas atau polisi
4.      Upacara Pengobatan
Dimasa lampau, orang Sakai menganggap bahwa segala macam penyakit itu disebabkan oleh gangguan antu. Pada cirinya yang tidak  biasa, seperti tiba-tiba saja muntah-muntah tanpa diketahui sebabnya atau begitu tiba di rumah, sepulang dar pergi “mandah” di hutan langsung sakit kepala, demam dan mengigau, itu menurut anggapan mereka sakit yang disebabkan oleh antu. Secara ringkasnya menurut mereka, gejala-gejala penyakit tergolong sebagai gangguan antu adalah: sakit kepala yang terus menerus dan berulang kembali datang menyerang, batuk dan demam yang berkepanjangan, perut busung, lumpuh, dan segata penyakit yang parah atau sakit berat. Dari penjelasan tersebut di atas mungkin hanya satu- satunya konsep asli yang ada dalam agama Orang Sakai adalah antu, walaupun konsep antu ini juga terdapat dalam kebudayaan Melayu, yaiyu “hantu”. Konsep antu pada Orang Sakai mengacu pada sesuatu dan semua makhluk gaib. Jadi, konsep antu menurut Orang Sakali adalah suatu konsep generik.  [44]
Ada tiga cara pengobatan yang juga merupakan tiga tahapan pengobatan, yang biasa dilakukan oleh Orang Sakai yaitu: (1) Uras; (2) Jungkul: (3) Dikir.[45]
Pada saat ini masyarakat suku Sakai sudah mengalami perubahan sebagian sudah memeluk agama Islam dan memperoleh pendidikan mulai Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Masyarakat Suku Sakai tidak hanya bekerja sebagai peramu tetapi sudah ada yang bekerja sebagai guru, pegawai negeri, pedagang, petani dan nelayan. Walaupun sudah mengalami perubahan dalam masyarakat sakai tetapi masih berkaitan dengan upacara daur hidup masih melekat dalam kehidupan mereka. Masyarakat berpandangan apabila tidak melaksanakan upacara tersebut akan mendapatkan musiah menurut kepercayaan mereka yaitu akan diganggu oleh makhluk-makhluk gaib yang dinamakan antu (hantu). [46]

5.      Upacara Menanam Padi
Benih padi yang disiapkan untuk ditugal di gunakan dengan cara melobangkan tanah yang akan isi padi. Cara melobangkan tanah ini suku sakai biasanya menggunakan kayu yang diruncingkan dengan ukuran 1-1,5 M. Padi yang mereka tanam berbagai jenis padi-padiannya,. Padi pulut, padi induk, dan padi kawat. Bila ladang sudah dipersiapkan dan bibit tanaman padi sudah siap untuk ditanam, maka ditentukan hari untuk mempersiapkan kegiatan menunggal padi yang dilakukan bersama-sama.
Satu hari sebelum dilakukan kegiatan menanam bibit tanaman padi ini dilakukan upacara "mematikan tanah" yang tujuannya adalah agar ladang tersebut tanahnya dingin atau subur dan mereka yang tinggal diladang tersebut terpelihara dan terjaga dari mara bahaya. Upacara mematikan tanah ini dilakukan oleh masing-masing kepala keluarga yang sama-sama membangun ketetanggaan ladang dan meminta perlindungan POTI SOI ( putri sri, dewi padi ). Bersamaan dengan itu tepatnya di tengah ladang, orang sakai menanamkan "jejak bumi" di tanam sebatang limau nipis yang ditambah ramuan-ramuan serta membawa mantera yang lafalnya adalah :
Pati soi
Gemolo soi
Siti dayang sempono
Tuan, engkau nak besuko-suko ati
Ketonggah lading

Setelah upacara yang dilakukan pada pagi hari, maka dimulailah penanaman padi. Penanaman bibit-bibit padi biasanya berlangsung selama 2-5 hari penanaman di lakukan oleh suami dan isteri dari keluarga yang berladang bahkan pihak tetangga juga membantu melaksanakan pekerjaan itu.

E.     Interaksi Kepercayaan Orang Sakai dengan Agama-Agama Lain
Agama orang Sakai mempunyai kedudukan dan peranan yang penting dalam kehidupan individu dan keluarga khususnya untuk kesejahteraan hidup jasmani dan rohani dan kegiatan-kegiatannya adalah preventif dan kuratif. Corak kegiatan-kegiatan seperti ini lebih menekankan pada penggunaan kekuatan-kekuatan gaib atau magi untuk kepentingan-kepentingan praktis dalam kehidupan manusia. Coraknya yang seperti tersebut di atas sebenarnya merupakan hasil dari proses-proses adaptasi terhadap lingkungan kehidupan orang sakai setempat. Karena itu agama orang Sakai itu bersifat lokal dan hanya berlaku untuk tingkat lokal, baik dalam pengertian wilayah maupun corak kegiatannya yang khusus lokal yang tidak tercakup di dalam dan oleh ajaran-ajaran agama besar (Islam dan Kristen). Salah satu perwujudannya adalah cara pengobatan yang mereka namakan “dikir” (yang tidak sama dengan “zikir dalam Islam).[47]
Suku Sakai meskipun masyarakat terasing tetapi telah ada agama-agama besar yang masuk atau berinteraksi dengan suku mereka yaitu seperti agama Islam dan Kristen. Bukti adanya interaksi dengan agama-agama lain yaitu diantaranya: sebagaian dari orang Sakai di Kecamatan Mandau ada yang memeluk agama Kristen, di samping mayoritasnya beragama Islam. Mereka adalah orang-orang Sakai yang tinggal di desa-desa Tengganau, Kandis, dan Belutu. Walaupun jumlah mereka yang memeluk agama Kristen amat sedikit bila dibandingkan dengan pemeluk agama Islam, tetapi tokoh-tokoh Islam di kecamatan Mandau mengkhawatirkan perluasan jumlah mereka. Sebagian dari orang-orang Sakai yang telah memeluk agama Kristen ini tetap menjalankan cara-cara kehidupan sebagai orang Sakai, yaitu berladang; sedangkan sebagian lainnya mengubah mata pencaharian mereka menjadi pedagang atau buruh. Yang menarik adalah bahwa kalau sehari-hari orang-orang Sakai beragam Kristen itu tampak kumal tetapi pada hari Minggu, pada waktu pergi ke gereja, mereka tampak berpakaian rapih.[48]
Karena itu agama orang Sakai itu bersifat lokal dan hanya berlaku untuk tingkat lokal, baik dalam pengertian wilayah maupun corak kegiatannya yang khusus lokal yang tidak tercakup di dalam dan oleh ajaran-ajaran agama besar (Islam dan Kristen). Salah satu perwujudannya adalah cara pengobatan yang mereka namakan “dikir” (yang tidak sama dengan “zikir dalam Islam).
Namun menurut Bosniar dalam kehidupan masyarakat Sakai sekarang banyak juga yang memakai hukum Islam dalam lembaga waris mereka, artinya sistem matrilineal digunakan untuk menentukan kerabat tapi dalam pembagian waris mereka sebagian menggunakan hukum Islam.[49]









BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN 
Suku Sakai adalah salah satu suku keturunan Minangkabau yang telah hidup di pedalaman Riau sejak Abad ke 14. Saat ini belum ada data yang pasti mengenai jumlah keseluruhan masyarakat suku Sakai, namun berdasarkan data kependudukan yang dihimpun oleh Departemen Sosial RI menyatakan bahwa jumlah orang Sakai yang saat ini mendiami Kabupaten Bengkalis sebanyak 4.995 jiwa. 
Sakai merupakan salah satu suku yang mendiami kawasan pedalaman Riau di Pulau Sumatera. Pola kehidupan yang masih nomaden ini meninggalkan kekayaan budaya yang menarik. Hal tersebut terlihat dari benda peninggalan Suku Sakai yang dahulu digunakan untuk keperluan hidup mereka di pedalaman. Walaupun pola hidupnya masih nomaden dan tergantung dengan alam, namun masyarakat Suku Sakai mampu bertahan hidup dengan menciptakan alat-alat kebutuhan rumah tangga lewat pemanfaatan alam.
Masyarakat suku sakai memiliki banyak sistem mata pencaharian yang hampir seluruhnya dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada disekitarnya termasuk berladang, berburu, menangkap ikan dirawa-rawa, dan lain sebagainya. Pada saat ini masyarakat suku sakai sudah mengalami perubahan sebagian sudah memeluk agama Islam dan memperoleh pendidikan mulai Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Masyarakat Suku sakai tidak hanya bekerja sebagai peramu tetapi sudah ada yang bekerja sebagai guru, pegawai negeri, pedagang, petani dan nelayan.
Berikut video mengeai Suku Sakai :


 
  Pengobatan Tradisional Suku Sakai, durasi 02 menit 45 detik
Video ini menunjukkan masyarakat sakai yang sedang menggelar upacara pengobatan yang dilakukan oleh dukun yang kepalanya ditutupi dengan kain berwarna merah dan berjalan-jalan membawa obor. 



 

Tari Olang Budaya Sakai, durasi : 02 menit 51 detik
Video ini menunjukkan tarian olang suku sakai yang dilakukan 3 lelaki dan 3 wanita yang memakai baju kombinasi merah dan hitam dan memakai kain berwarna merah dibelakangnya seperti burung. 





DAFTAR PUSTAKA

Suparlan, Parsudi. 1995. Orang Sakai di Riau : Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Uu Hamidi. 1991. Masyarakat Terasing Daerah Riau di Gerbang Abad XXI, Pekanbaru: UIR
Melalatoa, M. Junus. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta
Depsos. 1988.  Petunjuk Teknis Masyarakat Terasing dan Terbelakang. Jakarta: Depsos
http://agamalokal2016pa4bkel08.blogspot.co.id/2016/06/agama-tradisional-orang-sakai.html
De Saputra, Syahrial. 2010. “Kearifan Lokal yang Terkandung dalam Upacara Tradisional Kepercayaan Masyarakat Sakai-Riau” TanjungPinang: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata


[1]http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/48958/Chapter%20II.pdf;jsessionid=B93BCDAB7C52E3E591C0EC9AD30AA49B?sequence=4
[2]Ibid
[3]Ibid
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Parsudi Suparlan, Orang Sakai di Riau : Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat Indonesia. (Jakarta. Yayasan Obor Indonesia 1995) hal. 72
[10] “Umah: Rumah Panggung Tradisional Orang Sakai di Riau”, Melayuonline.com, diakses dari http://m.melayuonline.com/ind/literature/dig/2597/umah-rumah-panggung-tradisional-orang-sakai-di-riau,  pada tanggal 19 April 2017 pukul 19.58

[11] Ibid

[12] T. Jelajah, “Mengenal Suku Sakai, Suku Pedalaman di Nusantara”, Psychologymania, diakses dari http://www.psychologymania.com/2011/07/mengenal-suku-sakai-suku-pedalaman-di.html, pada tanggal 19 April 2017 pukul 19.51
[13] Uu Hamidi, Masyarakat Terasing Daerah Riau di Gerbang Abad XXI, (Pekanbaru: UIR, 1991), h.12
[14] T. Jelajah, “Mengenal Suku Sakai, Suku Pedalaman di Nusantara”, Psychologymania, diakses dari http://www.psychologymania.com/2011/07/mengenal-suku-sakai-suku-pedalaman-di.html, pada tanggal 19 April 2017 pukul 19.52
[15] Ibid
[16] M. Junus Melalatoa “Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia” (Jakarta: CV. Eka Putra, 1995) hlm.726
[17]  Ibid, hlm. 726
[18] Depsos, Petunjuk Teknis Masyarakat Terasing dan Terbelakang, (Jakarta: Depsos, 1988), hlm. 27
[19] Parsudi Suparlan, Orang Sakai di Riau : Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat Indonesia. (Jakarta. Yayasan Obor Indonesia 1995) hal. 40-41
[20] Ibid hal. 40-41
[21] Ibid hlm. 40-41
[22] Parsudi Suparlan, Orang Sakai di Riau, (Jakarta, Yyasan Obor Indonesia, 1995) hal. 82
[23] Ibid hlm. 82
[24] Parsudi Suparlan, Orang Sakai di Riau, (Jakarta, Yyasan Obor Indonesia, 1995) hal. 83-84
[25] Ibid hlm. 83-84
[26] Parsudi Suparlan, Orang Sakai di Riau, (Jakarta, Yyasan Obor Indonesia, 1995) hal. 84-88
[27]  Ibid hlm. 84-88
[28] Parsudi suparlan, “Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat Indonesia”. (Jakarta. Yayasan Obor Indonesia 1995) hal. 194-196
[29] Ibid  hal. 194-196
[30] Pasurdi Suparlan, Op.Cit, h. 197
[31] Afthonul afif, “Hantu dalam Masyarakat Sakai”, Melayuonline.com, diakses dari http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2287/hantu-dalam-masyarakat-sakai, pada tanggal 21 April 2017 pukul 11.29
[32] Parsudi Suparlan, Orang Sakai di Riau, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1995) hal. 197-199
[33] Ibid hal.199
[34] Ibid hal.199
[35] Ibid hal.199
[36] Afthonul afif, “Hantu dalam Masyarakat Sakai”, Melayuonline.com, diakses dari http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2287/hantu-dalam-masyarakat-sakai, pada tanggal 21 April 2017 pukul 11.29
[37] Ibid
[38] “Makalah Adat Istiadat Suku Sakai” Onlilne All Artikel, diakses dari http://onlineallarticles.blogspot.co.id/2011/10/makalah-adat-istiadat-suku-sakai.html, pada tanggal 21 April 2017 pukul 11.43
[39] “Suku Sakai”, ProtoMalayan, diakses dari http://protomalayans.blogspot.co.id/2010/05/suku-sakai.html, pada tanggal 21 April 2017
[40] Parsudi Suparlan, Orang Sakai di Riau, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1995) hal. 188-189
[41] Ibid
[43] Ardi Bin Syamsir “Suku Bangsa Sakai”, diakses dari http://wwwlastmanstanding.blogspot.co.id/2011/02/suku-bangsa-sakai.html,diakses pada tanggal 17/03/2017
[44] Syahrial De Saputra “Kearifan Lokal yang Terkandung dalam Upacara Tradisional Kepercayaan Masyarakat Sakai-Riau” (TanjungPinang: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2010) hal. 55  
[45] Pasurdi Suparlan, “Orang Sakai di Riau : Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat Indonesia”. (Jakarta. Yayasan Obor Indonesia 1995, hlm. 185
[46] “Makalah Adat Istiadat Suku Sakai” Onlilne All Artikel, diakses dari http://onlineallarticles.blogspot.co.id/2011/10/makalah-adat-istiadat-suku-sakai.html, pada tanggal 21 April 2017 pukul 11.43
[47] Pasurdi Suparlan, “Orang Sakai di Riau : Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat Indonesia”. (Jakarta. Yayasan Obor Indonesia 1995,
[48] Pasurdi Suparlan, “Orang Sakai di Riau : Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat Indonesia”. (Jakarta. Yayasan Obor Indonesia 1995, hlm. 201
[49] Ibid, h. 201

Tidak ada komentar:

Posting Komentar