AGAMA-AGAMA
LOKAL
“Suku
Sakai”
Disusun guna memenuhi
tugas mata kulliah Agama Lokal
Disusun
Oleh :
Nadya
Qurotu A’yunia Imaz (11150321000044)
Perbandingan
Agama (B)
Dosen
Pembimbing : Siti Nadroh, MA
FAKULTAS
USHULUDDIN
PROGRAM
STUDI PERBANDINGAN AGAMA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
KATA PENGANTAR
Bismillahirohmaanirrohiim
Assalamu’alaikum
Warohmatullahi Wabarokatuh
Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT. Shalawat serta salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW.
Keluarga dan para sahabatnya Amiin.
Alhamdulillah pada kesempatan ini penulis
telah menyelesaikan tugas ini untuk mendapatkan nilai dari dosen pada jurusan
Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta, walaupun dalam penyusunan tugas ini banyak sekali
hambatan, tetapi dengan niat dan ketekadan penulis akhirnya dapat menyelesaikan
tugas ini.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih
atas bantuan serta dukungan dalam penyelesaian tugas ini, ucapan terima kasih
kami sampaikan kepada dosen Siti Nadroh, M.Ag. Akhirnya kepada Allah SWT.
Jualah penulis berdoa semoga amal baik senantiasa mendapat balasan yang
berlipat ganda dari Allah SWT. Amiin.
Wassalamu’alikum
Warohmatullahi Wabarokatuh
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………… 1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
……………………………………………….. 2
B.
Rumusan Masalah
……………………………………………. 2
C.
Tujuan
………………………………………………………… 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Letak
Geografis, Luas Wilayah dan Lingkungan Alam .……… 3
B.
Sejarah dan
Asal-usul Orang Sakai …………………….……… 5
C.
Sistem
Kepercayaan dan Magi Suku Sakai ………...………….. 10
D.
Upacara Adat
dan Keagamaan Suku Sakai …………..………... 10
E.
Interaksi
Kepercayaan Orang Sakai dengan Agama-Agama Lain 17
BAB III PENUTUP
A.
KESIMPULAN
……………………………………………… 18
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Pembahasan kali ini mengenai agama lokal salah
satunya yaitu Suku Sakai yang berada di daerah
Riau. Membahas sedikit, Suku Sakai di Riau merupakan suku yang sampai saat ini
masih mempertahankan ajaran-ajaran nenek moyang mereka meskipun sudah banyak
orang-orang Sakai yang telah memeluk agama Islam dan Kristen. Tidak dapat
dipungkiri lagi bahwa Suku Sakai ini sangat menjaga kearifan lokal di mana
meski sudah ada pengaruh dari luar tetapi masih menjaga ajaran-ajaran leluhur
baik itu dari segi kepercayaan maupun upacara-upacara adat. Ada
yang berpendapat bahwa suku ini berasal dari keturunan Nabi Adam yang langsung
hijrah dari tanah Arab, terdampar di Sungai Limau, dan hidup di Sungai Tunu.
Namun, tidak ada sumber tertulis pasti tentang asal-usul sesungguhnya suku
Sakai ini.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
sejarah dan asal-usul orang Sakai di Riau
2.
Bagaimana
sistem kehidupan orang Sakai
3.
Bagaimana
sistem kepercayaan dan magi Suku Sakai
4.
Apa saja adat
istiadat dan tradisi Suku Sakai
5.
Bagaimana
interaksi kepercayaan orang Sakai dengan suku yang lain
C.
TUJUAN
1.
Mengetahui
sejarah dan asal-usul orang Sakai di Kepulauan Riau
2.
Mengetahui
kehidupan yang dijalani oleh suku Sakai
3.
Mengetahui
sistem kepercayaan dan magi Suku Sakai
4.
Mengetahui
bagaimana adat-istiadat dan tradisi orang Sakai
5.
Mengetahui
interaksi suku Sakai dengan suku yang lainnya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peta Geografis
1.
Letak Geografis
Wilayah Kabupaten Bengkalis terletak pada bagian pesisir Timur
Pulau Sumatera antara 207‟37,2” – 0055‟33,6” lintang utara dan 100057‟57,6” –
102030‟25,2” Bujur Timur. Kabupaten
bengkalis memiliki batas-batas yakni sebelah utara berbatasan dengan selat malaka,
sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Siak dan Kabupaten Kepulauan
Meranti, Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Rokan
Hulu, dan Kota Dumai, Sebelah Timur berbatasan dengan Kepulauan Meranti.
Wilayah Kabupaten Bengkalis dialiri oleh beberapa sungai. Diantara sungai yang
ada di daerah ini yang sangat penting sebagai sarana perhubungan utama dalam
perekonomian penduduk adalah Sungai Siak dengan panjang 300 km, Sungai Siak
Kecil 90 km dan Sungai Mandau 87 km. [1]
Kecamatan Mandau yang ibu kotanya Duri merupakan salah satu
Kecamatan yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Bengkalis, yang
memiliki batas-batas wilayah yakni sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan
Bukit Batu dan Kota Dumai, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Pinggir,
sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Bukit Batu. [2]
Desa Petani merupakan salah satu diantara 15 Desa dan Kelurahan
dalam Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Desa Petani
berbatasan dengan Desa Sebangar di sebelah utara, Kelurahan Pematang Pudu di
sebelah timur, dan di sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Rokan Hulu.[3]
2.
Luas Wilayah
Luas wilayah Kabupaten Bengkalis 7.773,93 km2,
terdiri dari pulau-pulau dan lautan. Tercatat sebanyak 17 pulau utama disamping
pulau-pulau kecil lainnya yang berada di wilayah Kabupaten Bengkalis. Jarak
terjauh antara ibu kota kecamatan dengan ibu kota kabupaten Bengkalis adalah
ibu kota Kecamatan Mandau yaitu Kelurahan Air Jamban (Duri) dengan jarak lurus
103 km. [4]
Luas wilayah Kecamatan Mandau 937,47 km terdiri
dari 9 Kelurahan dan 6 Desa. Adapun 9 Kelurahan tersebut antara lain Talang
Mandi, Gajah Sakti, Batang Serosa, Balik Alam, Duri Barat, Duri Timur,
Babussalam, Air Jamban, dan Pematang Pudu. Sedangkan 6 Desa tersebut antara
lain Harapan Baru, Sebangar, Balai Makam, Petani, Bumbungan, dan Kesumbo Ampai.
[5]
Tabel 1.
Luas Wilayah Kecamatan Mandau Menurut Desa/ Kelurahan
No
|
Desa/ Kelurahan
|
Desa
|
Kelurahan
|
Luas (km2)
|
1.
|
Talang Mandi
|
-
|
ü
|
20,00
|
2.
|
Harapan Baru
|
ü
|
-
|
25,00
|
3.
|
Gajah Sakti
|
-
|
ü
|
20,00
|
4.
|
Batang Serosa
|
-
|
ü
|
6,00
|
5.
|
Balik Alam
|
-
|
ü
|
6,00
|
6.
|
Duri Barat
|
-
|
ü
|
14,00
|
7.
|
Duri Timur
|
-
|
ü
|
6,00
|
8.
|
Babussalam
|
-
|
ü
|
8,00
|
9.
|
Air Jamban
|
-
|
ü
|
50,00
|
10.
|
Sebangar
|
ü
|
-
|
150,47
|
11.
|
Balai Makam
|
ü
|
-
|
100,47
|
12.
|
Petani
|
ü
|
-
|
207,00
|
13.
|
Pematang Pudu
|
-
|
ü
|
25,00
|
14.
|
Bumbung
|
ü
|
-
|
180,00
|
15.
|
Kesumbo Ampai
|
ü
|
-
|
120,00
|
Jumlah
|
6
|
9
|
937, 47
|
Sumber : Kepala Desa
kecamatan mandau tahun 2012
Hanya disekitar
sungai jurong desa Petani yang merupakan daerah pemukiman dan selebihnya adalah
hutan. Sungai jurong desa petani merupakan batas sebenarnya Kabupaten
Bengkalis. Sehingga pemukiman Orang Sakai masuk kedalam Kabupaten Rokan Hulu.
Akan tetapi hal tersebut ditolak oleh masyarakat Sakai. Kemudian batasan
wilayah tersebut digeser sehingga masyarakat desa Petani masih dalam wilayah
Kabupaten Bengkalis. Masyarakat menolak masuk kedalam Rokan Hulu karena akan
mempersulit mereka dalam mengurus surat-surat kependudukan.[6]
3.
Lingkungan Alam
Wilayah Kabupaten Bengkalis merupakan dataran
rendah dengan rata-rata ketingguan antara 2-6,1 meter diatas permukaan laut.
Wilayah Kabupaten Bengkalis sebagian besar merupakan tanah organosol, yaitu
jenis tanah yang banyak mengandung bahan organik. Kabupaten Bengkalis memiliki
34 sungai, 10 tasik atau danau dan 16 pulau besar dan kecil. Ke-16 pulau
tersebut terdiri dari dua pulau besar, yaitu pulau Bengkalis (938,40km2) dan pulau
Rupat (1.525km2). Sedangkan 14 pulau lainnya merupakan pulau kecil, yaitu Pulau
Atung, Mampu Beso, Payung, Mentele, Baru, Rampang dan Mampu Kecik yang masuk
dalam wilayah Kecamatan Rupat Utara. [7]
Jenis-jenis flora yang banyak terdapat di
hutan-hutan wilayah Kabupaten Bengkalis adalah Meranti. Punak, Sungkai,
Bintangur, Api-api, Bakau, Nibung. Kayu-kayu ini sebagian besar merupakan jenis
kayu komersial yang digunakan sebagai bahan baku industri
kayu dan furniture. Hasil hutn lainnya adalah Rotan, Damar, dan Getah Jelutung.
Disamping itu terdapat beberapa jenis anggrek hutan dan berbagai jenis tanaman
hias, seperti pinang merah dan palm (Kepau). Sedangkan jenis-jenis fauna yang
masih terdapat dikawasan hutan Bengkalis, seperti Harimau Sumatera, Gajah,
Beruang Madu, Beruk, Lutung, Kera, Rusa, Kijang, Kancil, Ayam Hutan, Buaya,
serta berbagai jenis ular dan burung.[8]
B.
Asal-usul Orang
Sakai di Kepulauan Riau
Suku Sakai merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang hidup di
pedalaman Riau, Sumatera. Menurut Moszkowski (1908) dan kemudian juga
dikutip oleh Loeb (1935) Orang Sakai adalah Orang veddoid yang
bercampur dengan orang-orang Minangkabau yang datang bermigrasi pada sekitar
abad ke-14 ke daerah Riau, yaitu ke Gasib, di tepi sungai Gasib di hulu sungai
Rokan. Gasib kemudian menjadi sebuah kerajaan dan kerajaan Gasib kemudian
dihancurkan oleh Kerajaan Aceh, dan warga masyarakat ini melarikan diri ke
hutan-hutan di sekitar daerah sungai-sungai Gasib, Rokan, dan Mandau serta
seluruh anak-anak Sungai Siak. Mereka adalah nenek moyang Orang Sakai.
Sedangkan menurut keterangan dari Bapak Boechary Hasny (1970) pencaharian
mereka yang terutama adalah dari berladang dan bercocok tanam. Seperti halnya
Suku Ocu (penduduk asli Kabupaten Kampar), Orang Kuantan, dan Orang Indragiri,
Suku Sakai merupakan kelompak masyarakat dari Pagaruyung yang bermigrasi ke
daratan Riau berabad-abad lalu. Tidak ada data yang pasti mengenai jumlah orang
Sakai. Data kependudukan yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial RI menyatakan
bahwa jumlah orang Sakai di Kabupaten Bengkalis sebanyak 4.995 jiwa. [9]
Ada pula
opini-opini atau pendapat-pendapat lain mengenai asal-usul suku Sakai, yang
dimana isinya tidak jauh berbeda dengan pendapat-pendapat lainnya diantaranya:[10]
Suku
Sakai adalah salah satu komunitas pedalaman di Nusantara yang menempati wilayah
Kabupaten Bengkalis, Siak Indrapura, dan Rokan Hilir. Sebelum pemekaran
wilayah, ketiga kabupaten tersebut dulunya merupakan satu wilayah kabupaten,
yakni Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Jumlah terbanyak orang Sakai di daerah
tersebut berada di Dusun Paneso, Kelurahan Muara Basung, Kecamatan Mandau.
Daerah ini merupakan lokasi permukiman orang Sakai yang tertua (Husni Thamrin,
2003:64). Tak mengerankan jika daerah ii menjadi inti atau sentral dari semua
kebudayaan orang Sakai.[11]
Suku
Sakai selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidup
berpindah-pindah di hutan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, alam asri
tempat mereka berlindung mulai punah. Kawasan yang tadinya hutan, berkembang
menjadi daerah industri perminyakan, usaha kehutanan, perkebunan karet dan
kelapa sawit, dan sentra ekonomi. Komposisi masyarakatnya pun menjadi lebih
heterogen dengan pendatang baru dan pencari kerja dari berbagai kelompok
masyarakat yang ada di Indonesia (Jawa, Minang, Batak, dsb). Akibatnya,
masyarakat Sakai pun mulai kehilangan sumber penghidupan, sementara usaha atau
kerja di bidang lain belum biasa mereka jalani.[12]
Dari tempat tinggal, masyarakat Sakai dapat dibedakan
menjadi sakai Luar dan sakai Dalam. Sakai dalam merupakan warga sakai
yang masih hidup setengah menetap dalam rimba belantara, dengan mata pencarian
berburu, menangkap ikan dan mengambil hasil hutan. Sakai luar adalah warga yang
mendiami perkampungan berdampingan dengan pemukiman-pemukiman puak melayu dan
suku lainnya.[13]
Pendapat
lain mengatakan bahwa Sakai merupakan percampuran antara orang-orang Wedoid
dengan orang-orang Melayu Tua. Catatan sejarah mengatakan bahwa pada zaman
dahulu penduduk asli yang menghuni Nusantara adalah orang-orang Wedoid dan
Austroloid, kelompok ras yang memiliki postur tubuh kekar dan berkulit hitam.
Mereka bertahan hidup dengan berburu dan berpindah-pindah tempat. Sampai suatu
masa, kira-kira 2.500-1.500 tahun sebelum Masehi, datanglah kelompok ras
baru yang disebut dengan orang-orang MelayuTua atau Proto-Melayu.[14]
Ini
merupakan gelombang migrasi pertama kemudian disusul dengan gelombang migrasi
yang kedua, yang terjadi sekitar 400-300 tahun sebelum Masehi. Kelompok ini
lazim disebut sebagai orang-orang Melayu Muda atau Deutro-Melayu. Akibat
penguasaan teknologi bertahan hidup yang lebih baik, orang-orang Melayu Muda
ini berhasil mendesak kelompok Melayu Tua untuk menyingkir ke wilayah
pedalaman. Di pedalaman, orang-orang Melayu Tua yang tersisih ini kemudian
bertemu dengan orang-orang dari ras Wedoid dan Austroloid. Hasil perkawinan campur
antara keduanya inilah yang kemudian melahirkan nenek moyang orang-orang Sakai.[15]
Sakai
adalah satu kelompok etnik yang masih digolongkan sebagai 'masyarakat
terasing’. Mereka ada yang berdiam di Kecamatan Kundo Darussalam, Kabupaten
Kampar, di Kecamatan Mandau, Kabupaten bengkalis, Kecamatan Dumai, dan
lain-lain yang sebelumnya termasuk wilayah Propinsi Riau. Menurut hasil survey
yang dilakukan Direktorat Pembinaan Masyarakat Terasing, Direktorat Bina Sosial
Departemen Sosial RI nama Sakai merupakan sebutan dari pihak luar yang konon
diberikan karena orang-orang ini tinggal di tepi sungai Sakai yang di
sekitarnya ditumbuhi pohon Sakai. Menurut sejarah, nenek moyang orang Sakai
adalah warga negeri Pagaruyung, Propinsi Sumatera Barat. Yang lari dan
negerinya untuk menghindari Belanda yang sewenang-wenang memungut pajak dari
rakyat.[16]
Versi lain mengatakan bahwa orang Sakai ini
merupakan penduduk asli Riau yang lari kepedalaman Pulau Bengkalis karena
terdesak oleh suku-suku bangsa lain yang datang menetap di daerah itu. Orang
Sakai sendiri mengaku sebagai orang "Melayu Asli". Para ahli sejarah
mencatat bahwa kelompok ini merupakan gelombang migrasi pertama yang datang
dari daratan Asia. Mereka ini tergolong ras Veddoid.[17]
Nama sakai dalam sebutan bagi penduduk pengembara yang
terpencil dari lalu lintas kehidupan dunia kekinian di Riau. Mereka tinggal di
bagian hulu sungai Siak. Menurut Boehari Hasmmy, mengatakan bahwa orang Sakai
datang dari kerajaan Pagaruyung Minangkabau Sumatera Barat dalam dua gelombang
migrasi. Kedatangan pertama diperkirakan terjadi sekitar abad ke 14 langsung ke
daerah Mandau. Sedangkan yang datang kemudian diperkirakan tiba di Riau abad ke
18, yang datang di kerajaan Gasib dan kemudian hancur diserang oleh kerajaan
Aceh, sehingga penduduknya lari ke dalam hutan belantara dan masing-masing
membangun rumah dan ladangnya secara terpisah satu sama lainnya di bawah
kepemimpinan salah seorang diantara mereka. [18]
Dalam
catatan sejarah Riau (Suwardi MS, 1980) dinyatakan bahwa wilayah ini pernah
berada dalam kekuasaan Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan Melayu. Di
samping itu, dengan adanya kedatangan bangsa-bangsa Cina, Portugis, Inggris,
dan Belanda yang berdagang dan bahkan Belanda yang sempat berkuasa dan menjajah
Indonesia, terdapat sisa-sisa dari pengaruh kebudayaan Hindu, Islam, Cina, dan
Barat (terutama kcbudayaan Belanda) dalam tradisi-tradisi kebudayaan dari
masyarakat Riau. Secara umum tradisi Islam adalah yang terkuat dibandingkan
dengan tradisi-tradisi budaya lainnya yang datang dari luar.[19]
Dengan
mengikuti Suwardi MS (1980) sejarah Riau secara kronologi dapat diuraikan
secara singkat sebagai berikut:[20]
1) Masa
Pengaruh Kerajaan Siiwijaya: masa ini berlangsung sampai dengan akhir abad
ke-13, yaitu sampai dengan menjelang akhir keruntuhannya. Kerajaan di Muara
Takus diduga merupakan kerajaan yang mewakili Kerajaan Sriwijaya dalam
menguasai kerajaan-kerajaan kecil ymng ada di Riau pada waktu itu.Kerajaan-kerajaan
kecil tersebut adalah kerajaan-kerajaan Melayu yang kemudian bebas dan berdiri
sendiri setelah runtuhnya Kekuasaan Sriwijaya;
2) Masa
Kemerdekaan Kerajaan-Kerajaan Melayu: suatu masa dimana kerajaan-kerajaan
Melayu di Riau tidak dikuasai oleh sesuatu kekuasaan yang lebih besar dan
sesuatu kerajaan lainnya. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah: (a) Bintan-Tumasik
(di Kepulauan Riau) dan Malaka (di Semenanjung Melayu); (b) Kandis-Kuantan; (c)
Gasib-Siak, (d) Kriteng Indragiri; (e) Rokan; (f) Segati; (g) Pekan Tuan; dan
(h) Andiko Nan 44-Kampar:
3) Masa
Pudarnya Kerajaan-Kerajaan Melayu: suatu masa dimana kerajaan-kerajaan kecil
Melayu tersebut berada dibawah kekuasaan Kerajaan Malaka, yang kemudian direbut
oleh Kerajaan Johor. Sedangkan Kerajaan Andiko Nan 44 dan Kerajaan Kuantan
berada dibawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Pagarruyung-Minangkabau;
4) Masa
Kepunahan Kerajaan-Kerajaan Melayu: suatu masa dimana sebagian besar dari
kerajaan-kerajaan Melayu tersebut punah, yang kepunahannya tidak diketahui
sebab-sebabnya. Kerajaan-kerajaan yang punah tersebut adalah: (a) Kandis; (b)
Segati), (c) Pekantua;dan (d) Gasib;
5) Masa munculnya
Kerajaan-Kerajaan Baru: suatu masa munculnya Kerajaan-kerajaan: (a) Siak Sri
Indrapura, (b) Indragiri; dan (c) Pelalawan;
6) Masa
Kerajaan Riau-Lingga: suatu masa munculnya Kerajaan Riau-Lingga dan kemudian
menjadi jaya menggantikan kejayaan Kerajaan Johor; tetapi kemudian menghilang
dan punah kekuasaannya bersama dengan berkuasanya kekuasaan
7) Masa
Menjelang Kemerdekaan Indonesia: yang dalam masa tersebut terdapat
kerajaan-kerajaan kecil: (a) Siak Indrapura (b) Indragiri, (c) Pelalawan; (d)
Rokan; (e) Singingi: (f) Kampar Kir, (g) Kuantan. Pada masa sekarang
kerajaan-kerajaan ini sudah tidak ada lagi. walaupun demikian gelar-gelar
kebangsawanan masih digunakan oleh orang-orang yang menjadi keturunan mereka,
dan gelar-gelar tersebut antara lain adalah Tengku. [21]
a. Dalam
Zaman Pemerintahan Kerajaan Siak
Para Batin Orang Sakai (baik perbatinan Lima
maupun Perbatina Delapan) memperoleh surat pengangkatan menjadi Batin dari Raja
Atau Sultan Siak. Dua buah kelompok Perbatinan tersebut masing-masing di
perlakukan sebagai sebuah satuan administrasi kekuasaan yang jelas Wilayah
kekuasaan masing-masing. pemerintahan kerajaan Siak menarik Pajak dan upeti
dari Perbatinan-perbatinan tersebut. pajak dan upeti yang ditarik berupa
berbagai hasil hutan dan anak gadis. Pajak-pajak tersebut dalam Wilayah
Perbatinan Lima di serahkan kepada Raja Siak melalui tangan Penghulu (Kepala
Desa) Mandau, sedangkan pajak-pajak dari perbatina Delapan diserahkan melalui
tangan Penghulu (Kepala Desa) petani. Adapun Gadis-gadis orang Sakai diserahkan
di Balai pungut, tempat parabangsawan beristirahat (Balai=Rumah atau tempat,
dan Pungut= memungut memilih untuk di ambil) seorang batin memperoleh bagian
kira-kira 10% dari pajak-pajak yang telah dikumpulkan dan di serahkan kepada
rakyat tersebut. pada mulanya daerah ini termasuk dalam wilayah perbatinan
Tengganau. Melelui hubungan mengangkat saudara (hubungan adik beradik) yang di
kukuhkan antara pegawai istana kerajaan tersebut yang menjadi kepala pemukiman
Balai Pungut dengan Batin Tengganau maka Balai Pungut dapat dijadikan dan
dinaikan kedudukannya sama dengan sebuah kepenghuluan (Desa) yang setaraf
kedudukannya dengan Tengganau. Menurut para informan, Kepala Desa Balai Pungut
pada waktu itu berfungsi sebagai mata-mata dalam sistem keamanan Orang Sakai. [22]
Pengangkatan seorang Batin pada Zaman kerajaan
Siak selalu dilakukan dengan suatu upacara Penobatan yang diikuti dengan pesta
minum-minum selama Tujuh hari Tujuh malam. Tugas seorang Batin dalam Zaman
Kerajaan Siak yang kemudian juga dilanjutkan dalam masa pemerintaha kerajaan
Belanda. [23]
b.
Dalam Zaman Penjajahan Belanda dan Jepang
Karena
orang Sakai hidup di tempat-tempat pemukiman yang terletak di daerah pedalaman
dan selalu menjauhkan diri dari kehidupan bermasyarakat yang lebih luas, mereka
tidak pernah atau jarang mempunyai kontak langsung dengan orang-orang Belanda
atau kekeuasaan pemerintahan penjajahan Belanda yang ada di Riau. Meneurut
keterangan beberapa orang Sakai yang telah lanjut Usia, mereka selalu menghindari
orang asing baik orang Belanda maupun orang Melayu karna takut dan malu.
Mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan khusus, seperti pembunuhan,
penyiksaan, barulah Opas atau Polisi, yang merupakan alat kekuasaan
pemerintahan Belanda menangani maslah ini sampai kedareh-daerah pedalaman orang
Sakai. [24]
Selama
zaman pendudukan Japang kehidupan orang sakai tidak dipedulikan oleh orang
Jepang mereka dibiarkan menjalani cara hidup mereka sebagaimana sebelumnya, dan
bahkan mereka terbebas dari kewajiban membayar pajak ataupun kerja wajib,
walaupun wilayah tempat kehidupan mereka dijadikan tempat kegiatan-kegiatan
pembangunan jalan dan kegiatan-kegiatan pembangunan-pembangunan lainnya mereka
melihat kekejaman tentara jepang terhadap para pekerja wajib (Romusha) yang di
datangkan dari jawa. Sebagian kecil dari Romusha ini dapat melarikan diri dari
rombongan-rombongan tersebut. mereka di tolong dan di beri makan serta di
sembunyikan oleh orang-orang Sakai setempat. Di antara mereka yang di tolong
ini kemudian hidup bersama dengan dan menjadi warga masyarakat orang Sakai yang
menolongnya dan kawin dengan wanita orang setempat. [25]
c.
Zaman Kemerdekaan Republik Indonesia
Kalau selama zaman pemerintahan jajahan Belanda
dan jepang di Indonesia itu nasib ornag Sakai tidak diperhatikan maka ketika
Indonesia mulai merdeka menjadi sangat diperhatikan oleh Indonesia sama dengan
daerah-daerah pedalaman lainnya. Pada Tahun 1954, pemerintah Indonesia
melakukan upaya ingin membebaskan kehidupan masyarakat Sakai dari keterasingan
atau isolasi. Kegiatan ini dinamakan dengan Civilisatie Masyarakat Terasing
dengan kegiatan-kegiatan melakukan inventarisasi jumlah penduduk dan cara-cara
hidup mereka. Pada Tahun 1963, sebagai hasil lebih lanjut dari Civilisatie di
dirikan Pos PMT (Pemukiman Masyarakat Terasing) di Muara Basung oleh Kantor
Inspeksi Social Riau. Pos PMT di Muara Basung di dirikan di hutan yang sudah
didirikan. Bangunan yang pertama di bangun adalah Kantor dan dua buah Rumah
untuk petugas bangunan. Pada Tahun 1964 muali di bangun perumahan untuk
penduduk orang Sakai yang akan di mukimkan perumahan yang di bangun sebanyak 30
buah, dan bersamaan dengan itu para petugas lapangan mulai mendatangi
rumah-rumah penduduk yang tinggal di Ladang-ladang mereka, dalam
kelompok-kelompok kecil 2 atau 3 Rumah, di tepi-tepi sungai di sekitar Muara
Basung dalam radius 17 meter. Ketika pada Tahun 1965 perumahan tersebut selesai
di bangun, dan penduduk di sekitar Muara Basung sudah siap masuk ke pemukiman
samapai dengan permulaan Tahun 1970. Jumlah yang tercatat pada tahun tersebut
sebanyak 68 keluarga. Masing-masing keluarga tersebut menerima tanah garapan
seluas 32x80 meter persegi. Selama Satu Tahun mereka diberi bekal hidup secara
Cuma-cuma oleh pemerintah, baik berupa bahan makanan pokok, pakaian, peralatan
dapur mereka jug diberi peralatan sederhana untuk petani (pacul dan parang).
Pemerintah juga menyediakan pelayanan kesehatan serta di berikan sebuah pesawat
Televisi (dengan tenaga Batrai) yang dapat di nikmati secara bersama pada
petang hari. Sejak Tahun1963 di Muara Basung telah didirikan sebuah sekolah
yang bernama persiapan Sekolah Dasar yang terdiri sebuah ruang dan seorang Guru
dengan muridnya 16 orang di selenggarakan oleh Departemen Sosial dan kemudian
oleh Departemen pendidikan dan kebudayaan. Pada Tahun1967 ruang kelas tersebut
roboh. Akhirnya para warga dan departemen social ingin memperbesar dan
memperbanyak ruang kelas karena ada tambahnya murid berjumlah 65 orang. [26]
Nama pemukiman masyarakat terasing (PMT) Pada
Tahun 1976 diganti namanya dengan Pembinana Kesejahtraan Masyarakat Terasing
(PKMT). kelompok-kelompok masyarakat tersing yang telah dimukimkan dan dibina
adalah di PKMT Buluh Kasap (1977), PKMT Sialang Rembon (1979), PKMT Kandis
(1980) dalam zaman pemerintahan Repubilk Indonesia kelompok-kelompok orang
Sakai yang tidak mau di mukimkan dan di bina di tempat-tempat pemukiman
dibiarkan tinggal ditempat-tempat pilihan mereka masing-masing. [27]
C.
Kepercayaan dan
Magi Orang Sakai
Salah satu ciri masyarakat Sakai
adalah agama mereka yang bersifat animistik. Meskipun banyak di antara orang
Sakai yang telah memeluk Islam, namun mereka tetap memraktekkan agama nenek
moyang mereka yang masih diselimuti unsur-unsur animisme, kekuatan magis, dan
tentang mahkuk halus. Tetapi hanya sebagian saja yang
betul-betul menjalankan salat lima kali dalam satu hari dan berpuasa dalam
bulan Ramadan. Mereka yang saat ini justru kebabanyakan adalah anak-anak muda.
Sebagian diantara mereka yang taat menjalankan ibadah tersebut tergolong dalam
dua kelompok keagamaan, yaitu tarekat Naksabandiyah dan Ahlusunnah
Wal Jamaah.[28]
Tarekat Naksbandiyah
merupakan Aliran dalam Agama Islam yang telah berabad-abad berkembang di Riau
dan Pulau Sumatra. Pada umumnya, dan di Riau ajaran ini berpusat di kerajaan
Siak. Tarekat Naksabandiah menuntut pemeluknya agar melakukan sejumlah upacara
ritual diluar kewajiban yang melakukan oleh para pemeluk Aliran Sunnah yang
antar lain mencakup kegiatan-kegiatan seperti berdzikir, berpuasa dan
lain-lainnya. mereka yang telah menjalankan upacara ritual di bawah bimbingan
seorang guru atau Khalifah dan di anggap telah menamatkan nya dengan baik di
namakan Khilafah. Karena oleh para pemeluk tarekat tersebut seorang khalifah
dilihat sebagai orang yang banyak pengetahuan mengenai Agama Islam dan sebagai
orang yang mempunyai kekuatan gaib dan sanggup mengatur dan menguasai
makhluk-makhluk gaib yang berada disekitar kehidupan manusia, maka di mata
pemeluk tarekat kedudukan sosial seorang Khalifah itu tinggi.[29]
Mereka masih lebih percaya terhadap kepada kepercayaan-keparcayaan asli nenek
moyang mereka, bahwa lingkungan hidup mereka di huni oleh makhluk gaib yang
dinamakan “antu” atau “hantu”. Sebagian Orang Sakai tidak terlibat dalam
konflik-konflik tersebut, karena mereka tidak merasa menjadi bagian yang
sebenarnya dari salah satu dua Aliran tersebut.
Inti dari agama nenek moyang
masyarakat Sakai adalah kepercayaan terhadap keberadaan ‘antu‘, atau mahluk
gaib yang ada di sekitar mereka. Masyarakat Sakai menganggap bahwa ‘antu’ juga
memiliki kehidupan layaknya manusia. Mereka bergerombol dan memiliki kawasan
pemukiman. Pusat dari pemukiman ‘antu’ ini menurut orang Sakai berada di
tengah-tengah rimba belantara yang belum pernah dijamah manusia.[30]
Akan tetapi kepercayaan animisme yang dahulu dianut oleh sebagian besar suku
Sakai, kini berganti dengan beberapa agama seperti Islam, atau pun juga
Kristen. Sehingga keyakinan terhadap makhluk halus yang sering disebut ‘Antu’,
tidak lagi menyelimuti kehidupan mereka. Hal ini terjadi akibat banyaknya
pembukaan hutan untuk perkebunan sawit dan juga pemukiman penduduk baru serta
program transmigrasi yang telah mempengaruhi cara pemikiran dan juga pola hidup
suku sakai.
-
Hantu dalam Konsepsi
Orang Sakai
Meskipun masyarakat Sakai menganggap bahwa hantu
memiliki dunia yang berbeda dengan mereka, namun hantu-hantu tersebut menempati
wilayah yang juga dihuni manusia. Mereka tinggal di pepohonan, sungai-sungai,
rawa-rawa, hutan, ladang, tempat pemukiman, rumah dan sebagainya. Bedanya
dengan manusia adalah bahwa manusia tidak dapat melihat mereka, tetapi mereka
dapat melihat manusia. Hanya orang-orang tertentu yang dapat berkomunikasi
dengan hantu-hantu itu melalui ritual khusus untuk mendatangkan mereka. [31]
Dalam pandangan masyarakat Sakai, hantu atau antu juga
memiliki karakter yang sama dengan manusia, yaitu ada yang baik dan ada yang
jahat. Namun, masyarakat Sakai tidak memiliki konsep yang jelas tentang
jenis-jenis hantu yang baik dan yang jahat. Hantu dalam pandangan masyarakat
Sakai sebenarnya memiliki karakter yang netral. Kecenderungan menjadi baik atau
jahat tergantung dari situasi-situasi khusus. Hantu yang baik adalah hantu yang
dapat dimintai bantuan ketika manusia memiliki kepentingan, sementara hantu
yang jahat adalah hantu yang dapat mencelakakan manusia, misalnya hantu yang
dapat mengirim penyakit, menimbulkan kemalangan, dan menyebabkan kematian.[32]
Dalam pandangan masyarakat Sakai, arwah dari orang
yang sudah meninggal juga menjadi bagian dari hantu-hantu tersebut. Orang Sakai
sangat takut dengan arwah anggota keluarga yang baru saja meninggal, kecuali
arwah bayi dan anak kecil. Ketakutan itu disebabkan adanya keyakinan bahwa
arwah orang yang baru saja meninggal sebenarnya sudah hidup di alam lain tetapi
masih berada dan tinggal di tempat-tempat anggota keluarga yang masih hidup. [33]
Arwah orang yang meninggal ini berada di sekeliling
anggota keluarga, dan karena hubungan yang dekat semasa hidup arwah tersebut
selalu ikut campur urusan-urusan dan kegiatan-kegiatan anggota keluarganya.
Campur tangan arwah tersebut tidak selamanya selaras dengan keinginan anggota
keluarga yang masih hidup. Karena keduanya tidak dapat melakukan komunikasi,
maka campur tangan dari arwah tersebut sering berujung pada kesialan pada
anggota keluarganya yang masih hidup, misalnya selalu gagal dalam melakukan
sesuatu. Intinya, keberadaan arwah tersebut dapat membawa sial. Oleh karena
itu, orang Sakai biasanya meninggalkan rumah mereka selama seminggu ketika ada
anggota keluarga mereka yang meninggal dunia.[34]
Hal ini dimaksudkan agar arwah anggota keluarga yang
meninggal tidak menempel terus dan mencampuri urusan dan kegiatan mereka. Jika
si arwah dirasa masih mengikuti dan mencampuri urusan anggota keluarga yang
masih hidup, maka jalan satu-satunya yang harus dilakukan anggota keluarga yang
masih hidup adalah harus pergi menyeberangi sungai, karena arwah orang mati
diyakini tidak dapat menyeberangi sungai.[35]
Masyarakat Sakai memercayai bahwa penyakit dan
kematian ada yang disebabkan oleh hantu. Hantu-hantu itu dapat dimintai
bantuannya untuk menenung seseorang. Orang Sakai biasanya menggunakan medium
hantu untuk menenung ketika terjadi perselisihan di antara mereka. Prinsip ilmu
tenung orang Sakai adalah menggunakan kekuatan antu untuk membunuh
lawan.[36]
Antu tersebut dapat disuruh
melakukan pembunuhan dengan imbalan sesajian makanan yang terbuat dari beras
ketan, beras, telur ayam, dan ayam. Walaupun hantu ini memiliki kekuatan yang
dapat mencelakakan manusia, tetapi hanya orang-orang yang dianggap kotor yang
dapat dicelakakan atau dibunuh hantu.[37]
D.
Upacara Adat
dan Keagamaan Suku Sakai
Suku Sakai tergolong dalam ras
Veddoid dengan ciri-ciri rambut keriting berombak. Kulit coklat kehitaman,
tinggi tubuh laki-laki sekitar 155 cm dan perempuan 145 cm. Untuk berhubungan
satu sama lain, orang Sakai menggunakan bahasa sakai. Banyak diantara mereka
mengujar logat-logat bahasa batak Mandailing, bahasa Minangkabau dan bahasa
Melayu.[38]
Beberapa tradisi yang diamalkan oleh
suku Sakai ini masih mengandung unsur animisme dan dinamisme.
Pada
masyarakat suku Sakai masih ditemukan upacara yang berkaitan dengan daur hidup
(life cycle). Pelaksanaan upacara tersebut dilaksanakan secara turun-temurun
yang masih dipertahankan oleh masyarakat suku Sakai. Adapun upacara tersebut
antara lain:
·
Upacara
kematian
·
Upacara
kelahiran
·
Upacara
pernikahan
·
Upacara
penobatan batin (orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru.
Selain
upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup (life cycle) ada juga upacara
yang berkaitan dengan peristiwa alam diantaranya :
·
Upacara
menanam padi
·
Upacara
menyiang
·
Upacara
sorang sirih
·
Upacara
tolak bala.[39]
Berikut beberapa diantara penjelasan mengenai upacara adat
suku sakai :
1.
Upacara
Kematian
Sebelum orang Sakai
memeluk Agama Islam atau Kristen maka jika ada seorang Sakai meninggal dunia,
maka mayatnya di letakan di tengah-tengah rumah. Para kerabat dan tetangga satu
“perbatinan” diberitahu. Jika seorang “pak kuneng” atau saudara laki-laki ibu
tertua dari “ego” maka si “ego” harus segera mengambil sebilah parang dan
dengan parah tersebut melukai keningnya sampai darahnya mengucur. Bila yang meninggal
dunia seorang yang masih muda maka “pak kuneng” dari si mati melakukan hal yang
sama. Darah yang mengucur tersebut harus diteteskan di muka dan dada si mayat.[40]
2.
Upacara
Pernikahan
Perkawinan yang terjadi pada masyarakat suku Sakai biasanya
hanya dilakukan oleh seorang perjaka dengan seorang gadis dan seorang duda dan
seorang janda. Dan jarang ditemui adanya poligami, karena ada alasannya yaitu
untuk menghindari pembiayaan biaya hidup yang mahal karena menanggung lebih
dari satu istri. Dalam kebudayaan Sakai diperbolehkan untuk menikah dengan
siapa saja kecuali, dengan anggota keluarganya. Perkawinan masyarakat Sakai ini
biasanya diawali dengan hubungan yang serius dan mendalam pada setiap personal.
Namun hubungan ini selalu melibatkan pengawasan dari orang tua bahkan
masyarakat, biasanya pengawasan ketat dilakukan oleh pihak gadis.
Ketika kedua belah pihak merasa bahwa hubungan
diantara si perjaka dan si gadis sudah nampak makin serius, maka orang tua si
perjaka menyuruh anaknya untuk melamar si gadis. Biasanya upacara perkawinan diselenggarakan setelah
satu bulan hingga dua bulan setelah prosesi lamaran. Terdapat perbedaan antara
masyarakat Sakai dahulu dengan sekarang dalam hal lamaran. Pada zaman dulu,
bahan-bahan yang dipersiapkan meliputi: [41]
·
(Sirih pinang selengkapnya; kain dan baju persalinan;
gelang dan cincin yang terbuat dari perak; sebuah mata uang riyal yang terbuat
dari perak; sebuah beling; dan sebuah mata tombak).
·
Sementara bahan-bahan yang dipakai sekarang meliputi: (Ranjang
yang terbuat dari besi, yang dilengkapi dengan kasur,serpal,bantal,guling
serta kelambu; gelang dan cincin
yangterbuat dari perak; dan radio atau tape recorder). Beliung dan tombak tidak dibutuhkan lagi, karena fungsinya tidak
sepenting dulu,sedangkan mata uang riyal sudah sulit ditemukan
Tata Pelaksanaan pernikahan upacara suku Sakai, Menurut
Suparlan (1995: 179-183), perkawinan
pada masyarakat Sakai sah dikatakan apabila memenuhi tahapan-tahapan berikut :
·
Prosesi
Lamaran (lamaran dilakukan oleh seorang "batin", perempuan tua yang
dipercaya oleh orang tua laki-laki untuk mewakili menyampaikan maksud
keluarga). Lalu "batin" memberi daun sirih sebagai simbol pinangan.
Dan jika diterima lalu barang-barang lamaran diserahkan, kemudian menentukan
hari perkawinan
·
Penyerahan Mas Kawin (merupakan tahap awal dari upacara,
dan penyerahan mas kawin dilakukan dirumah "batin" dan tempat
dilangsungkannya perkawinan).
·
Upacara
Pengesahan Perkawinan (upacara ini dilakukan di rumah "batin" setelah
selesai menyerahkan mas kawin. Agar status perkawina tidak hanya sah secara
adat, perkawinan juga dihadiri petugas pencatatan sipil (KUA) setempat. Agar
secara administratif sudah dianggap sah
dan terdaftar dan diakui pemerintah (Suparlan,1995: 182).
·
Pesta
Perkawinan (setelah upacara perkawinan dianggap selesai, maka
ditabuhlah gendang betalu-talu untuk menandakan bahwa pesta perkawinan dapat
segera dimulai, pesta berlangsung tiga hari tiga malam diisi dengan acara
makan-makan dan minum-minuman dll.)[42]
3. Upacara Penobatan Batin (orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru
Para batin orang sakai memperoleh surat pengakatan menjadi batin dari raja
Siak. Dua kelompok perbatinan masing-masing diperlakukan sebagai sebuah satuan
administrasi kekuasaan yang jelas wilayah kekuasaan masing-masing. Pemerintah
kerajaan Siak menarik pajak dan upeti dari perbatinan ini. Pajak dan upeti yang
ditarik berupa berbagai hasil hutan dan juga anak-anak gadis.
Pajak-pajak tersebut dalam wilayah perbatinan lima
diserahkan kepada raja Siak melalui tangan penghulu (kepala desa) Mandau,
sedangkan pajak-pajak dari perbatinan delapan diserahkan melalui tangan
penghulu (kepala desa) petani. Adapun gadis-gadis orang sakai diserahkan di
balai pungut tempat para bangsawan beristirahat (balai=rumah atau tempat,
pungut = memungut atau memilih untuk diambil). Seorang batin memperoleh bagian
kira-kira sepuluh persen dari pajak yang telah dikumpulkan dan diserahkan
kepada raja tersebut. Semula balai Pungut hanya berupa sebuah tempat dengan
beberapa rumah yang dihuni oleh orang Melauu yang menjadi pegawai kerajaan
Siak. Tempat ini digunakan sebagai tempat peristirahatan keluarga raja siak.
Pada mulanya daerah ini termasuk dalam wilayah perbatinan tengganau.
Melalui hubungan mengangkat saudara (hubungan adik-beradik) yang dikukuhkan
antara pegawai istana kerajaan tersebut yang menjadi kepala pemukimam balai
pungut dengan batin tenggganau maka balai pungut dapat dijadikan dan dinaikkan
kedudukannya sama dengan sebuah kepenghuluan (desa) yang setaraf kedudukannya
dengan Tengganau. Menurut para informan, kepala desa balai pungut pada waktu
itu berfungsi sebagai mata-mata dalam sistem keamanan wilayah kehidupan orang
Sakai. [43]
Pengangkatan seorang batin dalam zaman kerajaan siak selalu dilakukan
dengan melalui suatu upacara penobatan yang diikuti dengan pesta makan-minum
tujuh hari tujuh malam. Disamping batin, raja siak juga mengangkat seorang
wakil batin yang diberi nama Tongkek. Upacara batin. Tugas seorang tongkek
adalah membantu pekerjaan-pekerajaan batin, khususnya dalam kegiatan
pengumpulan pajak, dan dalam keadaan batin berhalangan mewakili batin dalam
tugas-tugasnya.
Tugas seorang Batin dalam zaman kerajaan siak, yang kemudian juga
dilanjutkan dalam masa pemerintah jajahan Belanda disamping mengumpulkan pajak
juga menjaga ketertibam kehidupan di pemukiman (menjaga jangan sampai terjadi
pencurian, dan perbuatan-perbuatan maksiat (perzinahan). Seorang batin dapat
menjatuhkan hukuman denda kepada warga masyarakat yang dipimpinnya yang
kedapatan bersalah karena merugikan sesama warga masyarakatnya. Sedangkan
hukuman badan ataupun pengadilan karena yang bersangkutan melakukan pembunuhan
tidak dapat diputuskan oleh seorang batin. Dalam hal ini terjadinya pembunuhan
maka si pembunuh diserahkan kepada punggawa kerajaan di Balai pungut, dan dalam
zaman Belanda diserahkan kepada opas atau polisi
4.
Upacara
Pengobatan
Dimasa
lampau, orang Sakai menganggap bahwa segala macam penyakit itu disebabkan oleh
gangguan antu. Pada cirinya yang tidak
biasa, seperti tiba-tiba saja muntah-muntah tanpa diketahui sebabnya atau
begitu tiba di rumah, sepulang dar pergi “mandah” di hutan langsung sakit
kepala, demam dan mengigau, itu menurut anggapan mereka sakit yang disebabkan
oleh antu. Secara ringkasnya menurut mereka, gejala-gejala penyakit
tergolong sebagai gangguan antu adalah: sakit kepala yang terus menerus
dan berulang kembali datang menyerang, batuk dan demam yang berkepanjangan,
perut busung, lumpuh, dan segata penyakit yang parah atau sakit berat. Dari
penjelasan tersebut di atas mungkin hanya satu- satunya konsep asli yang ada
dalam agama Orang Sakai adalah antu, walaupun konsep antu ini
juga terdapat dalam kebudayaan Melayu, yaiyu “hantu”. Konsep antu pada
Orang Sakai mengacu pada sesuatu dan semua makhluk gaib. Jadi, konsep antu menurut
Orang Sakali adalah suatu konsep generik. [44]
Ada tiga cara
pengobatan yang juga merupakan tiga tahapan pengobatan, yang biasa dilakukan oleh
Orang Sakai yaitu: (1) Uras; (2) Jungkul: (3) Dikir.[45]
Pada saat ini masyarakat suku Sakai sudah mengalami perubahan
sebagian sudah memeluk agama Islam dan memperoleh pendidikan mulai Sekolah
Dasar sampai Perguruan Tinggi. Masyarakat Suku Sakai tidak hanya bekerja
sebagai peramu tetapi sudah ada yang bekerja sebagai guru, pegawai negeri,
pedagang, petani dan nelayan. Walaupun sudah mengalami perubahan dalam masyarakat
sakai tetapi masih berkaitan dengan upacara daur hidup masih melekat dalam
kehidupan mereka. Masyarakat berpandangan apabila tidak melaksanakan upacara
tersebut akan mendapatkan musiah menurut kepercayaan mereka yaitu akan diganggu
oleh makhluk-makhluk gaib yang dinamakan antu (hantu). [46]
5.
Upacara Menanam Padi
Benih
padi yang disiapkan untuk ditugal di gunakan dengan cara melobangkan tanah yang
akan isi padi. Cara melobangkan tanah ini suku sakai biasanya menggunakan kayu
yang diruncingkan dengan ukuran 1-1,5 M. Padi yang mereka tanam berbagai jenis
padi-padiannya,. Padi pulut, padi induk, dan padi kawat. Bila ladang sudah
dipersiapkan dan bibit tanaman padi sudah siap untuk ditanam, maka ditentukan
hari untuk mempersiapkan kegiatan menunggal padi yang dilakukan bersama-sama.
Satu
hari sebelum dilakukan kegiatan menanam bibit tanaman padi ini dilakukan
upacara "mematikan tanah" yang tujuannya adalah agar ladang tersebut
tanahnya dingin atau subur dan mereka yang tinggal diladang tersebut
terpelihara dan terjaga dari mara bahaya. Upacara mematikan tanah ini dilakukan
oleh masing-masing kepala keluarga yang sama-sama membangun ketetanggaan ladang
dan meminta perlindungan POTI SOI ( putri sri, dewi padi ). Bersamaan dengan
itu tepatnya di tengah ladang, orang sakai menanamkan "jejak bumi" di
tanam sebatang limau nipis yang ditambah ramuan-ramuan serta membawa mantera
yang lafalnya adalah :
Pati
soi
Gemolo
soi
Siti
dayang sempono
Tuan,
engkau nak besuko-suko ati
Ketonggah
lading
Setelah upacara yang dilakukan pada pagi hari,
maka dimulailah penanaman padi. Penanaman bibit-bibit padi biasanya berlangsung
selama 2-5 hari penanaman di lakukan oleh suami dan isteri dari keluarga yang
berladang bahkan pihak tetangga juga membantu melaksanakan pekerjaan itu.
E.
Interaksi
Kepercayaan Orang Sakai dengan Agama-Agama Lain
Agama orang Sakai mempunyai
kedudukan dan peranan yang penting dalam kehidupan individu dan keluarga
khususnya untuk kesejahteraan hidup jasmani dan rohani dan kegiatan-kegiatannya
adalah preventif dan kuratif. Corak kegiatan-kegiatan seperti ini lebih
menekankan pada penggunaan kekuatan-kekuatan gaib atau magi untuk
kepentingan-kepentingan praktis dalam kehidupan manusia. Coraknya yang seperti
tersebut di atas sebenarnya merupakan hasil dari proses-proses adaptasi
terhadap lingkungan kehidupan orang sakai setempat. Karena itu agama orang
Sakai itu bersifat lokal dan hanya berlaku untuk tingkat lokal, baik dalam
pengertian wilayah maupun corak kegiatannya yang khusus lokal yang tidak
tercakup di dalam dan oleh ajaran-ajaran agama besar (Islam dan Kristen). Salah
satu perwujudannya adalah cara pengobatan yang mereka namakan “dikir” (yang
tidak sama dengan “zikir dalam Islam).[47]
Suku Sakai meskipun masyarakat
terasing tetapi telah ada agama-agama besar yang masuk atau berinteraksi dengan
suku mereka yaitu seperti agama Islam dan Kristen. Bukti adanya interaksi
dengan agama-agama lain yaitu diantaranya: sebagaian dari orang Sakai di
Kecamatan Mandau ada yang memeluk agama Kristen, di samping mayoritasnya
beragama Islam. Mereka adalah orang-orang Sakai yang tinggal di desa-desa
Tengganau, Kandis, dan Belutu. Walaupun jumlah mereka yang memeluk agama
Kristen amat sedikit bila dibandingkan dengan pemeluk agama Islam, tetapi
tokoh-tokoh Islam di kecamatan Mandau mengkhawatirkan perluasan jumlah mereka.
Sebagian dari orang-orang Sakai yang telah memeluk agama Kristen ini tetap
menjalankan cara-cara kehidupan sebagai orang Sakai, yaitu berladang; sedangkan
sebagian lainnya mengubah mata pencaharian mereka menjadi pedagang atau buruh.
Yang menarik adalah bahwa kalau sehari-hari orang-orang Sakai beragam Kristen
itu tampak kumal tetapi pada hari Minggu, pada waktu pergi ke gereja, mereka tampak
berpakaian rapih.[48]
Karena
itu agama orang Sakai itu bersifat lokal dan hanya berlaku untuk tingkat lokal,
baik dalam pengertian wilayah maupun corak kegiatannya yang khusus lokal yang
tidak tercakup di dalam dan oleh ajaran-ajaran agama besar (Islam dan Kristen).
Salah satu perwujudannya adalah cara pengobatan yang mereka namakan “dikir”
(yang tidak sama dengan “zikir dalam Islam).
Namun menurut Bosniar dalam kehidupan masyarakat Sakai
sekarang banyak juga yang memakai hukum Islam dalam lembaga waris mereka,
artinya sistem matrilineal digunakan untuk menentukan kerabat tapi dalam
pembagian waris mereka sebagian menggunakan hukum Islam.[49]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Suku Sakai
adalah salah satu suku keturunan Minangkabau yang telah hidup di pedalaman Riau
sejak Abad ke 14. Saat ini belum ada data yang pasti mengenai jumlah
keseluruhan masyarakat suku Sakai, namun berdasarkan data kependudukan yang
dihimpun oleh Departemen Sosial RI menyatakan bahwa jumlah orang Sakai yang
saat ini mendiami Kabupaten Bengkalis sebanyak 4.995 jiwa.
Sakai merupakan salah satu suku yang
mendiami kawasan pedalaman Riau di Pulau Sumatera. Pola kehidupan yang masih
nomaden ini meninggalkan kekayaan budaya yang menarik. Hal tersebut terlihat
dari benda peninggalan Suku Sakai yang dahulu digunakan untuk keperluan hidup
mereka di pedalaman. Walaupun pola hidupnya masih nomaden dan tergantung
dengan alam, namun masyarakat Suku Sakai mampu bertahan hidup dengan
menciptakan alat-alat kebutuhan rumah tangga lewat pemanfaatan alam.
Masyarakat
suku sakai memiliki banyak sistem mata pencaharian yang hampir seluruhnya
dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada disekitarnya termasuk
berladang, berburu, menangkap ikan dirawa-rawa, dan lain sebagainya. Pada saat
ini masyarakat suku sakai sudah mengalami perubahan sebagian sudah memeluk
agama Islam dan memperoleh pendidikan mulai Sekolah Dasar sampai Perguruan
Tinggi. Masyarakat Suku sakai tidak hanya bekerja sebagai peramu tetapi sudah
ada yang bekerja sebagai guru, pegawai negeri, pedagang, petani dan nelayan.
Berikut video mengeai Suku Sakai :
Berikut video mengeai Suku Sakai :
Pengobatan Tradisional Suku Sakai, durasi 02 menit 45 detik
Video ini
menunjukkan masyarakat sakai yang sedang menggelar upacara pengobatan yang
dilakukan oleh dukun yang kepalanya ditutupi dengan kain berwarna merah dan
berjalan-jalan membawa obor.
Tari
Olang Budaya Sakai, durasi : 02 menit 51 detik
Video ini
menunjukkan tarian olang suku sakai yang dilakukan 3 lelaki dan 3 wanita yang
memakai baju kombinasi merah dan hitam dan memakai kain berwarna merah
dibelakangnya seperti burung.
DAFTAR PUSTAKA
Suparlan,
Parsudi. 1995. Orang Sakai di Riau : Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Uu Hamidi. 1991. Masyarakat
Terasing Daerah Riau di Gerbang Abad XXI, Pekanbaru: UIR
Melalatoa,
M. Junus. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta
Depsos. 1988. Petunjuk
Teknis Masyarakat Terasing dan Terbelakang. Jakarta: Depsos
http://agamalokal2016pa4bkel08.blogspot.co.id/2016/06/agama-tradisional-orang-sakai.html
http://wwwlastmanstanding.blogspot.co.id/2011/02/suku-bangsa-sakai.html, diakses pada tanggal 17/03/2017
De
Saputra, Syahrial. 2010. “Kearifan Lokal yang Terkandung dalam
Upacara Tradisional Kepercayaan Masyarakat Sakai-Riau” TanjungPinang: Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata
[1]http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/48958/Chapter%20II.pdf;jsessionid=B93BCDAB7C52E3E591C0EC9AD30AA49B?sequence=4
[2]Ibid
[3]Ibid
[4]
Ibid
[5]
Ibid
[6]
Ibid
[7]
Ibid
[8]
Ibid
[9] Parsudi
Suparlan, Orang Sakai di Riau : Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat Indonesia.
(Jakarta. Yayasan Obor Indonesia 1995) hal. 72
[10] “Umah: Rumah
Panggung Tradisional Orang Sakai di Riau”, Melayuonline.com, diakses dari http://m.melayuonline.com/ind/literature/dig/2597/umah-rumah-panggung-tradisional-orang-sakai-di-riau, pada tanggal 19 April 2017 pukul 19.58
[11] Ibid
[12] T. Jelajah, “Mengenal
Suku Sakai, Suku Pedalaman di Nusantara”, Psychologymania, diakses dari http://www.psychologymania.com/2011/07/mengenal-suku-sakai-suku-pedalaman-di.html, pada tanggal
19 April 2017 pukul 19.51
[14] T. Jelajah, “Mengenal
Suku Sakai, Suku Pedalaman di Nusantara”, Psychologymania, diakses dari http://www.psychologymania.com/2011/07/mengenal-suku-sakai-suku-pedalaman-di.html, pada tanggal
19 April 2017 pukul 19.52
[15] Ibid
[16]
M. Junus
Melalatoa “Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia” (Jakarta: CV. Eka
Putra, 1995) hlm.726
[17] Ibid, hlm. 726
[19] Parsudi
Suparlan, Orang Sakai di Riau : Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat
Indonesia. (Jakarta. Yayasan Obor Indonesia 1995) hal. 40-41
[20] Ibid hal.
40-41
[21] Ibid hlm. 40-41
[22]
Parsudi
Suparlan, Orang Sakai di Riau, (Jakarta, Yyasan Obor Indonesia, 1995) hal. 82
[23]
Ibid
hlm. 82
[24]
Parsudi
Suparlan, Orang Sakai di Riau, (Jakarta, Yyasan Obor Indonesia, 1995) hal.
83-84
[25]
Ibid
hlm. 83-84
[26] Parsudi
Suparlan, Orang Sakai di Riau, (Jakarta, Yyasan Obor Indonesia, 1995) hal.
84-88
[27] Ibid hlm. 84-88
[28] Parsudi
suparlan, “Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat
Indonesia”. (Jakarta. Yayasan Obor Indonesia 1995) hal. 194-196
[29] Ibid hal. 194-196
[30] Pasurdi
Suparlan, Op.Cit, h. 197
[31] Afthonul afif,
“Hantu dalam Masyarakat Sakai”, Melayuonline.com, diakses dari http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2287/hantu-dalam-masyarakat-sakai, pada tanggal
21 April 2017 pukul 11.29
[32]
Parsudi
Suparlan, Orang Sakai di Riau, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1995) hal.
197-199
[33]
Ibid
hal.199
[34]
Ibid
hal.199
[35]
Ibid
hal.199
[36]
Afthonul afif, “Hantu
dalam Masyarakat Sakai”, Melayuonline.com, diakses dari http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2287/hantu-dalam-masyarakat-sakai, pada tanggal
21 April 2017 pukul 11.29
[37] Ibid
[38] “Makalah Adat
Istiadat Suku Sakai” Onlilne All Artikel, diakses dari http://onlineallarticles.blogspot.co.id/2011/10/makalah-adat-istiadat-suku-sakai.html, pada tanggal
21 April 2017 pukul 11.43
[39] “Suku
Sakai”, ProtoMalayan, diakses dari http://protomalayans.blogspot.co.id/2010/05/suku-sakai.html, pada tanggal
21 April 2017
[40]
Parsudi
Suparlan, Orang Sakai di Riau, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1995) hal.
188-189
[41] Ibid
[42] http://wartasejarah.blogspot.co.id/2013/09/kehidupan-dan-adat-pernikahan.html, diakses pada
tanggal 5 April 2017 pukul 18.37
[43] Ardi Bin
Syamsir “Suku Bangsa Sakai”, diakses dari http://wwwlastmanstanding.blogspot.co.id/2011/02/suku-bangsa-sakai.html,diakses pada
tanggal 17/03/2017
[44] Syahrial De Saputra “Kearifan
Lokal yang Terkandung dalam Upacara Tradisional Kepercayaan Masyarakat
Sakai-Riau” (TanjungPinang: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2010)
hal. 55
[45] Pasurdi
Suparlan, “Orang Sakai di Riau : Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat
Indonesia”. (Jakarta. Yayasan Obor Indonesia 1995, hlm. 185
[46]
“Makalah Adat
Istiadat Suku Sakai” Onlilne All Artikel, diakses dari http://onlineallarticles.blogspot.co.id/2011/10/makalah-adat-istiadat-suku-sakai.html, pada tanggal
21 April 2017 pukul 11.43
[47] Pasurdi
Suparlan, “Orang Sakai di Riau : Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat
Indonesia”. (Jakarta. Yayasan Obor Indonesia 1995,
[48] Pasurdi
Suparlan, “Orang Sakai di Riau : Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat
Indonesia”. (Jakarta. Yayasan Obor Indonesia 1995, hlm. 201
[49] Ibid,
h. 201
Tidak ada komentar:
Posting Komentar