Senin, 29 Mei 2017

SUKU KAJANG

AGAMA-AGAMA LOKAL
Suku Kajang"
 Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Agama Lokal

Disusun Oleh :
Nadya Qurotu A’yunia Imaz (11150321000044)

Perbandingan Agama (B)
Dosen Pembimbing : Siti Nadroh, MA
logo uinjkt.jpeg


FAKULTAS USHULUDDIN
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017


BAB I
PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG
Suku Kajang yang lebih dikenal dengan Adat Ammatoa merupakan salah satu suku tradisional, yang terletak di kabupaten bulukumba Sulawesi Selatan, tepatnya sekitar 200 km arah timur kota Makassar. Daerah kajang terbagi dalam 8 desa, dan 6 dusun. Namun perlu diketahui, kajang di bagi dua secara geografis, yaitu kajang dalam (suku kajang, mereka disebut “tau kajang”) dan kajang luar (orang-orang yang berdiam di sekitar suku kajang yang relative modern, mereka disebut “orang-orang yang berdiam di sekitar suku kajang yang relative modern, mereka disebut “tau lembang”). Sebuah Suku Klasik yang masihkental akan adat istiadatnya yang sangat sakral. Suku ini merupakan salah satu suku yang tetap mempertahankan kearifan lokal sampai saat ini.



BAB II
PEMBAHASAN
  1. Peta Geografis
http://iballalompoa.com/menjaga-hutan-melestarikan-adat-istiadat-ammatoa-kajang/

Tanah Toa adalah desa di kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba,Sulawesi Selatan, Indonesia. Desa ini dihuni oleh suku Kajang. Suku Kajang tepatnya sekitar 200 km arah timur kota Makassar. Secara geografis dan administratif, masyarakat adat Kajang terbagi atas Kajang Dalam dan Kajang Luar. Masyarakat Adat Kajang Dalam tersebar di beberapa desa, antara lain Desa Tana Toa, Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung dan sebagian wilayah Desa Tambangan. Kawasan Masyarakat Adat Kajang Dalam secara keseluruhan berbatasan dengan Tuli di sebelah Utara, dengan Limba di sebelah Timur, dengan Seppa di sebelah Selatan, dan dengan Doro di sebelah Barat. Sedangkan Kajang Luar tersebar di hampir seluruh Kecamatan Kajang dan beberapa desa di wilayah Kecamatan Bulukumba, di antaranya Desa Jojolo, Desa Tibona, Desa Bonto Minasa dan Desa Batu Lohe. Provinsi Sulawesi Selatan terletak di 0°12' - 8° Lintang Selatan dan 116°48' - 122°36' Bujur Timur. Luas wilayahnya 45.764,53 km². Provinsi ini berbatasan dengan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat di utara, Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara di timur, Selat Makassar di barat dan Laut Flores di selatan. Secara keseluruhan Luas lokasi desa Tana Toa ini yaitu 331,17 ha, baik yang terhitung lokasi Kajang dalam ataupun Kajang luar. Serta dari 331,17 ha tersebut, kurang lebih 90 ha dipakai untuk area pertanian. Tanaman yang dibudidayakan diatas area seluas itu cukup bermacam, salah satunya padi, jagung, coklat, kopi, dan sebagainya.
  1. Sejarah Suku Kajang
 
http://terpopuler.us/suku-suku-di-indonesia/6/ 

Suku Kajang adalah salah satu suku yang tinggal di pedalaman Kabupaten Bulukumba. Daerah tersebut dinamakan Tana Toa yang berarti tanah yang tertua. Hal itu dikarenakan kepercayan masyarakatnya yang meyakini daerah tersebut sebagai daerah tertua dan pertama kali diciptakan oleh Tuhan di muka bumi ini. Bagi mereka, daerah ini dianggap sebagai tanah warisan leluhur.
Amma.-Towa adalah salah satu bagian dari kelompok suku bangsa Bugis yang berdiam di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Orang luar Iebih sering rnenyebut rnereka sebagai Orang Kajang.
Dahulu kala Di Tanah Kajang, langit dan bumi menyatu berbentuk sebuah pattapi atau tetampah. Syahdan, ketika mula taunna atau manusia pertama muncul, langit dan bumi terpisah. Peristiwa tersebut mengilhami penamaan Kajang yang berarti memisahkan. Orang Kajang percaya, mula taunna muncul di situs Possi Tana di Desa Matoangin, sekitar sepuluh kilometer dari kawasan adat Tana Toa. Dan beberapa bukti artefak dan batu andesit menunjukkan, kawasan ini pernah menjadi sentral berbagai upacara adat.
Di tengah-tengah maraknya aksi pembalakan liar oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab akhir-akhir ini, melihat praktek hidup Suku Kajang atau yang juga disebut masyarakat adat Ammatoa, dalam melestarikan kawasan hutannya seolah-olah memberi secercah harapan bagi kelestarian lingkungan alam.
Masyarakat adat Ammatoa yang hidup di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, mengelola sumberdaya hutan secara lestari, meskipun secara geografis wilayahnya tidak jauh (sekitar 50 km) dari pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Hal ini disebabkan oleh hubungan masyarakat adat dengan lingkungan hutannya didasari atas pandangan hidup yang arif, yaitu memperlakukan hutan seperti seorang ibu yang harus dihormati dan dilindungi (Suriani, 2006).
.Namun, hanya masyarakat yang tinggal di kawasan Kajang Dalam yang masih sepenuhnya berpegang teguh kepada adat Ammatoa. Mereka memraktekkan cara hidup sangat sederhana dengan menolak segala sesuatu yang berbau teknologi. Bagi mereka, benda-benda teknologi dapat membawa dampak negatif bagi kehidupan mereka, karena bersifat merusak kelestarian sumber daya alam. Komunitas yang selalu mengenakan pakaian serba hitam inilah yang kemudian disebut sebagai masyarakat adat Ammatoa.
Menjadi seorang Ammatoa membutuhkan pengorbanan besar. Rakyat percaya bahwa sang Ammatoa adalah orang terakhir yang merasakan kemakmuran bila penduduk Tana Toa mengalami kemakmuran, namun menjadi orang pertama yang akan merasakan kemiskinan. Menjadi seorang Ammatoa tidak mudah, jabatan seumur hidup. Pengangkatannya melalui beberapa ritual. Pemilihan Ammatoa dapat dikatakan cukup mistis. Upacara adatnya disebut Panganro. Saat penduduk memilih beberapa calon untuk menjadi Ammatoa, para calon tadi berjalan masuk ke hutan. Tidak seorang pun yang hingga saat ini mengetahui apa yang terjadi di dalam hutan. Konon, hanya calon yang terpilihlah yang mampu masuk ke dalam hutan dan kembali dengan selamat. Masyarakat percaya bahwa Ammatoa dipilih sendiri oleh Turiak Rakna atau Tuhan sendiri, lalu diberikan kemampuan untuk menjaga kelestarian hutan dan berkomunikasi dengan para leluhur penjaga hutan. Apabila Ammatoa meninggal (bahasa Kajang: linrung), maka seorang pejabat adat baru akan ditunjuk untuk memimpin selama 3 tahun, setelah itu seorang Ammatoa baru dapat dipilih oleh warga.
Peninggalan kebudayaan oleh para leluhur yang sangat mereka jaga dan kemudian mereka lestarikan yaitu kesenian dan alat industri rumah tangga berupa alat tenun (Pattannungang) dan alat pertanian tradisional. Adapun kesenian tersebut antara lain :
  1. Tari Pa’bitte Passapu : untuk acara kegembiraan seperti acara pernikahan, penjemputan tamu, dan lain-lain. Tari Pa’bitte Passapu ditampilkan pada acara-acara adat, acara penjemputan tamu yang dihormati. Tarian ini sering ditampilkan di luar kawasan adat dan diberikan imbalan sesuai kemampuan orang yang mengundang para penari. Jumlah penari terdiri atas 8 orang pria. Mereka bernyanyi sambil menari. Pemain gendang 2 orang, serta 1 orang pembina dan pemimpin group tari. Kostum penari berupa jas tutup, sarung, celana pokki’ dan passapu yang masing-masing berwarna hitam.
  2. Seni Suara berupa nyanyian (Kelong) : Kelong diiringi gendang dan dinyanyikan dalam rangkaian tari Pa’bitte Passapu untuk acara kegembiraan.
  3. Seni Teater : Menggambarkan sosok Ammatoa dan pendampingnya.
  4. Seni Drama : Anggaru.
  5. Seni Musik : Menggunakan alat berupa suling (Basing).

Prinsip hidup Suku Kajang
Tallase kamase-mase bermakna hidup memelas, hidup apa adanya, Hidup sederhana untuk orang-orang Kajang merupakan sejenis ideologi yang berperan sebagai pemandu serta rujukan nilai dalam menggerakkan kehidupan sehari-hari.
Sistem kepemimpinan Suku Kajang
Pemimpin tertinggi sebagai pelaksana pemerintahan di lokasi adat Tana Toa ini yaitu Amma Toa. Amma Toa inilah yang bertanggungjawab pada pelestarian serta proses Pasang di komunitasnya.
  1. Sistem Keagamaan dan Upacara Adat Suku Kajang
  1. Sistem Keagamaan
Agama yang dianut adalah “Sallang dalam dialek Konjo” yang artinya Islam. Dan Tuhan yang mereka yakini adalah Turie’a A’ra’na (Allah SWT).
Menurut Ammatoa, ada 4 rahasia Turie’a A’ra’na, yaitu :
    1. Leteanng Dalle’ : Titian rejeki.
    2. Bala Tannisanna - sanna : Bencana yang tak disangka-sangka.
    3. Sura’ Nikka : Surat nikah.
    4. Cappa’ Umuru : Ujung usia.
Mereka juga menjalankan shalat 5 waktu seperti dalam Pasang “ Je’ne Talluka, Sambayang Talatappu”, artinya “Jangan merusak Shalat dan melunturkan Wudhu”.
Orang Kajang atau Ammatoa dianggap memegang teguh kitab lontara yang mereka sebut Pasang Ri Kajang. Naskah kuno menyimpan pesan-pesan luhur, yakni pcnduduk Tana Toa harus senantiasa ingat kepada Tuhan, harus memupuk rasa kekeluargaan dan saling memuliakan. Orang Ammatoa juga diajarkan untuk bertindak tegas, sabar, dan tawakal. Pasang ri Kajang juga mengajak untuk taat pada aturan, dan mnelaksanakan semua aturan itu sebaik-baiknya.
Dari satu sisi kepercayaan komunitas Ammnatoa, masih terkait dengan Islam. Akan tetapi mereka yakin bahwa firman Tuhan turun ke bumi sebanyak 40 juz, bukan 30. Karena diangap tidak mematuhi ajaran Islam, maka mereka merasa mengalami pengucilan dan kesewenangan.
Komunitas Ammatoa Kajang tidak pantas disebut Islam. Orang Ammatoa memang tak kenal hurup Arab. Lagi pula, mereka punya paham sendiri soal kitab suci.  Mereka punya Pasang Ri Kajang yang terdiri dan 10 Juz. “Tuhan sesungguhnya menurunkan firman buat manusia setebal 40 juz. Wahyu Allah yang 30 juz, yang ada dalam Al Quran itu adalah ayat buat orang lain. Sedangkan buat Ammatoa hanya 10 juz saja yang tertuang dalam kitab lotara Pajang Ri Kajang”.

  1. Upacara Adat
Berikut beberapa upacara adat atau ritual dalam suku kajan, diantaranya :
  1. Ritual Andingingi
 
https://shamawar.wordpress.com/2011/01/09/ritual-mendinginkan-alam-ala-kajang/

Tiap akhir tahun, masyarakat adat suku kajang melakukan ritual andingingi yang berarti mendinginkan. Ini merupakan salah satu bentuk kesyukuran mereka atas kemurahan alam dengan cara mendinginkannya. Waktu tersebut adalah saatnya alam untuk diistirahatkan setelah dikelolah dan dinikmati hasilnya selama satu tahun.
  1. Ritual Bersih Kubur
http://hanageoedu.blogspot.co.id/2011/12/suku-kajang.html

Setiap tahun, ritual Bersih Kubur selalu dilaksanakan pada tanggal 24 bulan Ramadhan dalam Hijriah. Ketika hari ritual telah tiba, semua masyarakat Kajang berkumpul di makam Bohetomi. Di Tana Toa, makam ini merupakan makam Ammatoa pertama suku Kajang.
Dalam ritual, Kemenyan menjadi simbol bahwa restu dari leluhur selaui menyertai kehidupan masyarakat Kajang.  Sementara doa menjadi simbol penghormatan kepada roh leluhur.  Ketika ritual Bersih Kubur dilaksanakan, mereka juga selalu memberikan sesaji berupa sirih pinang. Sesaji itu dipersembahkan sebagai bentuk persembahan kepada leluhur.  Sebagai penutup acara, mereka juga melaksanakan acara makan bersama di rumah tetua adat.
    1. Upacara Adat Rumatang 
Upacara adat yang disebut Rumatang ini dipimpin langsung oleh Ammatowa. Di sawah milik Ammatowa ini persiapan upacara Rumatang mulai dilakukan sejak pagi hari. Saat itu kaum wanita telah datang dan mulai memasak makanan di bawah gubuk milik Ammatowa. Berbagai jenis makanan khas Suku Kajang mulai dipersiapkan untuk keperluan upacara adat dan makan siang bersama .
    1. Upacara Pernikahan
Masyarakat adat Kajang terikat oleh adat yang mengharuskan menikah dengan sesama orang dalam kawasan adat. Jika tidak maka mereka harus hidup di luar kawasan adat, pengecualian bagi pasangan yang bersedia mengikuti segala aturan dan adat-istiadat yang berlaku di dalam kawasan adat.
Adapun mahar yang berikan berdasarkan sissilah keturunan yang mempunyai adat tersendiri yaitu : Sunrang Tallu (3 ekor kerbau), Sunrang Kati (4 ekor kerbau), Sunrang Lima (5 ekor kerbau) dan Sunrang Tuju (7 ekor kerbau). Dimana Sunrang tadi berarti mahar. Apabila mahar yang berupa Sunrang beberapa ekor kerbau, maka banyaknya uang telah terpahamkan oleh pihak laki-laki. Sedangkan mas kawin berupa Lima Tai’ (untuk keluarga keturunan pemangku adat) dan Empat Tai’ (untuk masyarakat biasa).
Setelah itu, maka ditentukanlah hari resepsi pernikahan. Rangkaian resepsi pernikahan selama 2 hari 2 malam dengan konsep adat istiadat dan budaya Kajang Ammatoa. Adapun baju adat yang digunakan pada saat pernikahan yaitu Baju Pokki’ (baju pendek).
    1. Upacara Kematian
Pada upacara kematian menurut warga Kajan adat lazimnya ada 3 kegiatan utama yakni : Aklajo –lajo, Addangang dan Addampo.
  1. Aklajo-lajo
    Aklajo-lajo sering di selenggarakan pada hari ketujuh, yaitu jika orang yang meninggal itu sudah sampai hari ke 7, acaranya baca do’a kemudian menyerahkan sejumlah pakaian kepada guru atau pemimpin agama. Barang-barang yang diserahkan seperti sarung songkok, celana, tempat tidur dan lain-lain.
  2. Addangang
    Kegiatan “Addangang” dilaksanakan tepat pada hari ke 40 dari kematian masyarakat adat, pelaksanaan pesta ini biasanya tergolong meriah karena biasanya ditandai dengan penyembelihan kerbau atau sapi sampai 2 atau 3 ekor, inti acara ini adalah meneggakkan batu nisan di atas pusaradan memagari pusara. Selesai itu berdo’a dan makan bersama seluruh warga kawasan adat Amma towa, acara Addangang ini dapat dianggap sah jika dihadiri oleh semua perangkat adat dan pemerintah setempat. Oleh masyarakat adat lazim menyebutnya dengan Dalle’ Lasa’ra artinya matahari yang akan tenggelam
  3. Addampo
    Acara Addampo adalah merupakan pesta terakhir yang dilaksanakan oleh masyarakat adat Amma Toa Kajang. Addampo dilaksanakan pada hari ke-100. Menurut warga adat pesta ini tergolong paling meriah.

  1. Bahasa Sehari-hari
Penduduk adat Kajang menggunakan bahasa Makassar yang dialek bahasanya berupa bahasa Konjo sebagai bahasa sehari-harinya. Masyarakat Ammatoa memraktekkan sebuah agama adat yang disebut dengan Patuntung. Arti bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia bermakna mencari sumber kebenaran.

  1. Rumah Adat
 
http://www.kompasiana.com/nyomnyom/berkunjung-ke-kampung-manusia-pertama-di-bumi_5517420e8133119a669de3f9

Rumah adat suku Kajang berbentuk rumah panggung, tak jauh beda bentuknya dengan rumah adat suku Bugis-Makassar. Bedanya, setiap rumah dibangun menghadap ke arah barat. Membangun rumah melawan arah terbitnya matahari dipercayai mampu memberikan berkah. Rumah adat ini masih menggunakan kekayaan hutan sekitar untuk membuatnya. Kehidupan yang begitu sederhana, jika masuk ke dalam rumah hal yang pertama dilihat adalah dapur, rumah model ini tidak memiliki teras atau beranda dan di dalamnya tidak memiliki kamar tidur.
Rumah suku kajang seragam bahannya, seragam besarnya, serta sedapat mungkin seragam arah bangunannya. Keseragaman itu punya maksud untuk menghindari saling iri di kelompok mereka, yang dapat menyebabkan pada hasrat mendapatkan hasil lebih banyak melalui cara merusak hutan.
Di Kajang Dalarn penduduk tinggal di rumah-rumah panggung yang semuanya menghadap ke barat dan tertata rapi, khusus nya yang berada di Dusun Benteng tempat rumah Amma Toa berada. Tampak beberapa rumah yang berjejer dari utara ke seIatan. Di depan barisan rumah terdapat pagar batu kali setinggi satu meter.

  1. Sistem Kepercayaan dan Magi Suku Kajang
Daerah Kajang juga terkenal dengan hukum adatnya yang sangat kental dan masih berlaku hingga sekarang. Mereka menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal moderenisasi, kegiatan ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Mungkin disebabkan oleh hubungan masyarakat adat dengan lingkungan hutannya yang selalu bersandar pada pandangan hidup adat yang mereka yakini. Salah satu kebiasaan yang harus dijalankan adalah kewajiban seorang wanita membuat pakaian untuk anggota keluarganya.  Masyarakat Kajang juga diwajibkan untuk menghormati tanah leluhur. Salah satunya, hutan. Mereka menganggap hutan sebagai ibu.
Selain percaya terhadap adat Ammatoa, Suku Kajang juga memiliki kepercayaan agama. Namanya, ajaran Patuntung.  Dalam bahasa Makassar, Patuntung berarti mencari sumber kebenaran.  Berdasarkan ajaran Patuntung, jika manusia ingin mencari kebenaran harus menjalankan tiga pilar hidup.  Pertama, menghormati Turiek Arakhna (Turi Arakna) yaitu Tuhan. Kedua, masyarakat Kajang juga harus menghormati tanah yang diberikan Tuhan. Dan yang ketiga yaitu menghormati nenek moyang.  Kepercayaan dan penghormatan terhadap Tuhan merupakan keyakinan yang paling mendasar dalam ajaran agama Patuntung.  Mereka percaya, Turiek Arakhna adalah Tuhan Yang Maha Kekal, Mengetahui, Perkasa dan Maha Kuasa. Mereka menyakini, Turiek Arakhna menurunkan perintah kepada orang pertama.
Namun seiring perubahan zaman, mereka mengaku memeluk agama Islam. Hanya dalam praktiknya, mereka mengiblatkan diri pada Passang Ri Kajang atau pesan-pesan suku Kajang sebagai payung kehidupan. Pandangan panuntung ini mengharuskan orang Kajang hidup prihatin dan apa adanya atau kemase-masae.
Hitam merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan bila kita memasuki kawasan Ammatoa pakaian kita harus berwarna hitam. Warna hitam mempunyai makna bagi Mayarakat Ammatoa sebagai bentuk persamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama.
Warna hitam menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di depan sang pencipta. Kesamaan dalam bentuk wujud lahir, menyikapi keadaan lingkungan, utamanya kelestarian hutan yang harus di jaga keasliannnya sebagai sumber kehidupan. Oleh karena itu, kami membuat makalah ini untuk meneliti kehidupan di salah satu desa yang ada di kajang yaitu desa Lem’banna.
  1. Mitos dalam Suku Kajan
Terdapat beberapa Mitos yang ada disuku Kajang, yaitu :
  • Jika ada orang luar yang masuk ke dalam wilayah suku kajang, serta tidak meminta izin lalu melakukan hal-hal yang tidak wajar maka akan di kenakan doti pada orang tersebut. Doti semacam bacaan yang dapat menimbulkan kematian.
  • Menurut mitos di sana, burung kajang adalah cikal bakal manusia yang dikendarai oleh To Manurung sebagai Ammatoa maka dari itulah daerah tersebut disebut dengan “SUKU KAJANG”
  • Larangan membuat rumah dengan bahan bakunya adalah batu bata. Menurut pasang hal ini adalah pantang karena hanya orang mati yang berada didalam liang lahat yang diapit oleh tanah. Rumah yang bahan bakunya dari batu bata meskipun pemiliknya masih hidup namun secara prisip mereka dianggap sudah tiada atau dalam bahasa kasarnya telah mati, karena sudah dikelilingi oleh tanah.

  1. Interaksi Orang Kajan dengan Masyarakat Lain
Interaksi sosial bagi komunitas lokal Kajang memang diketahui sejak dari dulu mereka mengasingkan diri dari komunitas luar. Keteguhan mereka untuk tetap mempertahankan tradisi dan falsafah hidup yang merupakan warisan dari nenek moyang mereka masih tetap mereka pertahankan sampai hari ini. Akibatnya mereka selalu distigma negatif oleh kalangan masyarakat modern sebagai komunitas yang tidak berperadaban dan tertinggal.
Dalam kacamata modernisasi, prinsip hidup masyarakat Kajang untuk tetap komitmen dalam hidup kamase-mase (keserderhanaan) dianggap tidak sejalan dengan pola hidup modernisasi. Hidup kamase-mase bermula dari pemimpin yang dikenal dengan sebutan Ammatoa, ketika ia sudah dinobatkan sebagai pemimpin adat dan sekaligus sebagai pemimpin spiritual Tana Toa Kajang. Seorang pemimpin harus menjadi panutan masyarakat dan hidup apa adanya tanpa harus mengejar materi.
Suku Kajan membolehkan Orang luar pun mengunjungi kampung mereka asalkan taat sama peraturan adat yang berlaku.

BAB III
PENUTUP

  1. KESIMPULAN  
Suku Kajang merupakan suku yang masih memegang teguh ritual adatnya hingga saat ini. Meskipun sekarang sudah banyak suku pedalaman yang meninggalkan ritual adatnya. Suku kajang juga merupakan suku yang sangat tidak bisa menerima perubahan dari luar daerahnya. Mereka menganggap perubahan itu melanggar hukum adat yang di buat oleh nenek moyang mereka.
Kelestarian hutan di Kajang Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan tak lepas dari payung hukum adat yang selama ini dihormati dan dijunjung tinggi masyarakat adat Kajang yakni, “Pasang”. Bagaimana masyarakat adat kajang mengimplementasi ajaran Pasang kaitanya dengan pelestarian lingkungan hidup. Hal yang membuktikan bahwa setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap Pasang langsung mendapatkan sanksi yang berlaku selama masih hidup di dunia dan juga akan didapatkan di akhirat nantinya.

 
Tarian Pa'bitte Passapu 
Durasi : 10 menit  
Tarian ini dilakukan oleh empat orang laki-laki yang memakai pakaian serba hitam dan juga penutup kepala.


  
 Upacara Pengantin Suku Kajang 
Durasi : 07 menit 21 detik
Dalam upacara pengatin ini ada masyarakat suku kajan yaitu para lelaki menari di depan pengantin dan ditengah masyarakat yang lain.
 


 
Tarian Adat Suku Kajang Tanah Toa
Durasi : 16 menit 08 detik 
Video ini berisi Tarian adat sanggar Turiolo Kajang Amma Toa yang dilakukan oleh laki-laki dan memakai pakaian serba hitam.   
 

  
 Sejarah Suku Kajang Bulukumba Sulawesi Selatan
   Durasi : 06 menit 44 detik
 Video ini berupa audio yang berisi gambar pemangku kajang yang menjelaskan tentang sejarah suku Kajang


 
Budaya Suku Kajang 
Durasi : 1 menit 36 detik Berisi tentang cara menenun kain hitam dalam Suku Kajang yang diakukan oleh wanita.  

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar